T U G A S
MATA KULIAH PENATAGUNAAN TANAH
KONVERSI PENGGUNAAN TANAH
DAN BENTURANNYA DENGAN KEPENTINGAN UMUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia dan bertambah terus setiap tahun. Pertambahan penduduk ini secara otomatis mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Peningkatan kepadatan penduduk Indonesia yang sedemikian cepat mengakibatkan kebutuhan akan lahan sebagai tempat beraktivitas juga meningkat.
Aktivitas pembangunan yang berlangsung di berbagai bidang, terutama di kota-kota besar menyebabkan peningkatan kebutuhan jumlah lahan yang tidak sedikit. Pembangunan ini pada akhirnya menyebabkan lahan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas, sedangkan permintaan akan kebutuhan lahan (land) oleh manusia, selaku subjek agraria semakin meningkat. Dengan demikian, penggunaan sumber daya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomis lebih menguntungkan. Lahan yang pada awalnya merupakan lahan pertanian telah banyak yang berubah fungsi menjadi pemukiman atau industri.
Peningkatan nilai ekonomis yang terjadi terhadap lahan, menimbulkan perebutan sistem kepemilikan lahan (land tenure). Namun, pemanfaatan tanah yang dikuasai oleh subjek agraria dibatasi oleh kepentingan-kepentingan umum seperti rencana pengembangan suatu wilayah tertentu. Pemanfaatan lahan disesuaikan dengan rencana pengembangan perkotaan yang dirumuskan dalam suatu tata guna lahan (land use).
Pemanfaatan dan penggunaan lahan dapat juga diartikan sebagai suatu tata ruang. Rencana tata ruang berguna untuk membagi ruang yang ada di dalam suatu bagian secara lebih spesifik seperti pemukiman, tempat perdagangan (pasar), industri, dan juga ruang terbuka hijau. Alokasi ruang terbesar dimanfaatkan untuk perumahan dan pemukiman terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana (utilitas umum). Dirumuskannya suatu Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) bertujuan untuk mengatur pemanfaatan lahan secara spesifik sesuai dengan perencanaan tata pengembangan kota.
Suatu rancangan yang sudah ditetapkan pemerintah dengan memperhatikan tujuan bersama terkadang pada kenyataannya masih sering terjadi benturan kepentingan. Hal ini berujung pada alih fungsi lahan atau biasa disebut konversi lahan. Selain benturan kepentingan, konversi lahan juga disebabkan oleh keterbatasan lahan, dan tingkat kebutuhan. Pengalihan fungi lahan ini dapat berupa perubahan dari fungsi pertanian menjadi pemukiman atau industri. Perubahan fungsi lahan dapat pula terjadi dalam arah sebaliknya dari fungsi industri atau pemukiman menjadi fungsi pertanian atau jalur hijau. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan RTRW yang sudah ditetapkan tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Konversi lahan sebenarnya diperlukan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan menjaga sebaik mungkin tidak merugikan bagi pemilik, pengguna lahan yang telah ada maupun terhadap keberlanjutan pemanfaatan lahan untuk masa yang akan datang. Salah satu bentuk konversi lahan yang terjadi adalah terbentuknya pemukiman kumuh. Banyaknya pembentukan pemukiman liar di atas lahan milik orang lain pun dapat dikatakan sebuah konversi lahan. Walaupun konversi tersebut dapat dikatakan terselubung atau tidak resmi. Berdasarkan alasan-alasan ini perlu dilakukan sebuah penelitian yang menganalisis dampak yang terjadi pasca konversi terkait penyimpangan tata guna lahan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan dikaji antara lain:
1. Konversi Penggunaan Tanah
2. Benturan Kepentingan Umum
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONVERSI PENGGUNAAN TANAH
Perubahan penggunaan lahan pada hakekatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan dan atau memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad-abad yang lalu nenek moyang kita telah mengubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian. Contoh perubahan lahan yang pernah dilakukan pada zaman dahulu yaitu perubahan hutan menjadi sawah, yang merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dalam kondisi curah hujan yang tinggi, dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah bergunung.
Alih fungsi atau perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konversi lahan pertanian pada dasarnya merupakan suatu proses alamiah yang terkait dengan tiga faktor dasar yaitu: kelangkaan lahan, dinamika pembangunan, dan pertumbuhan penduduk. Menurut Simatupang dan Irawan akar penyebab konversi lahan pertanian ialah: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, (2) pertumbuhan dan perkembangan penduduk. Di Indonesia, kedua faktor ini masih sangat besar dan mustahil dicegah. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian juga merupakan fenomena alamiah yang mustahil untuk dicegah.
Konversi Lahan menurut adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari non pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program eksetensifikasi pertanian. Konversi lahan pertanian ke non pertanian mengalami laju yang tinggi untuk keperluan pertumbuhan industri dan memenuhi kebutuhan pemukiman penduduk yang masih relatif tinggi. Faktor perkembangan industri dan pemukiman merupakan faktor penting yang mempengaruhi konversi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian, yang kemudian diikuti dengan keberpihakan pemerintah terhadap sektor swasta.
Alih fungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan memperlambat dan mengendalikan kegiatan alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian. Dalam rangka dilakukannya alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian para pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonannya melalui mekanisme perijinan. Mekanisme tersebut terbagi dalam dua jalur yaitu dapat melalui ijin lokasi atau ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian.
Perbedaan dari dua mekanisme tersebut adalah terletak pada luasnya tanah yang dimohon, apabila luas tanah pertanian yang dimohonkan perubahan penggunaannya ke tanah non pertanian kurang dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, sedangkan apabila lebih dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin lokasi.
Konversi lahan telah menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan ini berhubungan dengan perubahan struktur agraria, proses marginalisasi/kemiskinan dan pelaku konversi (warga masyarakat) tersubordinasi oleh pihak pemanfaat konversi. Implikasi dari perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola nafkah, pola hubungan produksi, dan perubahan orientasi nilai terhadap sumberdaya agraria. Hal ini dapat memberikan kesimpulan bahwa konversi lahan telah meningkatkan ketidakadilan agraria.
Keberpihakan pemerintah terhadap sektor swasta dapat mengakibatkan konversi lahan, sehingga berlangsung paradigma yang meniru pola kolonial, yaitu tanah untuk negara dan swasta (kapitalisme). Hal ini akhirnya akan menimbulkan pemusatan kekuasaan di satu pihak, dan terjadi fragmentasi lahan di pihak lain. Fragmentasi lahan yang dicapai menunjuk nilai keuntungan, dimana tanah terjadi jual-beli tanah dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hal ini seakan menunjukan bagaimana kebijakan pemerintah dibuat dan dilanggar oleh pemerintah sendiri, yang akhirnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ditetapkan tidak sesuai dengan implementasi di lapangan.
Konversi lahan telah meningkatkan ketidakadilan agraria, atau dapat dikatakan bahwa konversi lahan mempengaruhi atau memicu terjadinya perubahan struktur agraria. Hal ini ditunjukkan melalui perubahan pola penguasaan lahan dengan adanya pemusatan kekuasaan dan fragmentasi lahan, penurunan pola produksi yang ditandai dengan penurunan produktivitas lahan, penurunan pola nafkah yang ditandai dengan penurunan pendapatan dan peningkatan kemiskinan, dan perubahan orientasi nilai atas lahan dari segi nilai sosial dan nilai kepentingan umum.
Konversi lahan cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan.
Konversi lahan dapat memberikan beberapa dampak. Dampak yang ditimbulkan pasca konversi lahan adalah dampak kepada tata guna lahan terkait dengan orientasi nilai terhadap lahan, pola pemilikan dan pemanfaatan lahan, dan tumpang tindih (penyimpangan) terhadap RTRW.
B. BENTURAN KEPENTINGAN UMUM
Berbagai macam bentuk pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada saat ini, terutama pembangunan yang bersifat fisik, tidak terlepas dari kebutuhan akan lahan. Ketersediaan lahan pada suatu daerah apabila dikaitkan dengan kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan, tidak mencukupi. Hal ini disebabkan karena kebutuhan lahan oleh manusia dan pembangunan semakin besar sedangkan lahan merupakan modal tetap, artinya orang tidak dapat menambah jumlahnya di suatu daerah.
Oleh karena semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia, dan bersamaan dengan itu pula pembangunan membutuhkan lahan, mengakibatkan adanya benturan kepentingan dan akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use. Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabilitasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air). Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya sosial yang berupa kemerosotan kualitas sumberdaya lahan.
Bagaimana terjadinya benturan kepentingan pada pemerintah yang berada di antara dua sisi kepentingan? Di satu pihak pemerintah dalam otonomi daerah harus berupaya untuk menarik investor tapi di lain pihak pemerintah merasa kedodoran karena tingginya nilai konversi lahan di daerah yang semula merupakan lahan pertanian beralih menjadi lahan untuk pembangunan industri dan sarana infrastruktur lainnya. Satu sisi infrastruktur tersebut dibutuhkan (jalan atau perumahan), namun di sisi lain mendorong penyempitan lahan pertanian yang ada.
Sudah terlambat dan tidak mudah untuk dicapai upaya untuk menghentikan konversi lahan karena ada aturan lain yang lebih besar, yaitu aturan mengenai tata ruang yang tidak pernah diikuti secara konsisten, kondisi pemerintah daerah yang tidak punya alat dan cara untuk mengatakan tidak kepada industriwan apalagi ditambah dengan era otonomi daerah, mereka justru berupaya keras untuk menarik sebanyak mungkin investor.
Jalan keluar untuk mengatasi timbulnya konversi lahan atau langkah untuk menanggulangi terjadinya konversi lahan adalah dengan :
1. Menerapkan peraturan tata ruang secara tegas, termasuk soal peruntukannya selain itu pemerintah perlu menegakkan tata ruang yang ada dan membuat zonasi yang ketat.
2. Membuka areal baru di luar Pulau Jawa yang diikuti dengan program transmigrasi dengan mengandalkan mekanisasi pertanian dan petani diberi tanah di atas empat hektar.
3. Pemerintah memberi pajak pada tanah yang menganggur ( agar yang punya tentu akan berupaya menanaminya atau berpikir dulu sebelum membeli tanah ).
4. Harus ditegaskan bahwa definisi tentang pangan itu bukan hanya beras, tetapi ''beras plus'', sehingga lahan kosong tak hanya ditanami dengan padi, tetapi bisa tanaman lain seperti kentang, sagu, jagung atau ketela, jika definisi pangan adalah hanya beras, maka Indonesia tidak bisa dikatakan memiliki ketahanan pangan. Namun sebaliknya, jika yang dimaksud dengan pangan adalah ''pangan plus'', maka Indonesia bisa dikatakan memiliki ketahanan pangan.
5. Pemerintah harus menurunkan tingkat konsumsi beras per kapita.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang dipeti eskan pada masa Soeharto dan Ketetapan (Tap) MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), jika pemerintah dan aparat tidak tegas, land reform tidak akan berhasil. Sekalipun ada perintah dari Presiden untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian subur, tanpa penegakan hukum (law enforcement), tetap akan muncul pertikaian memperebutkan lahan pertanian. Sebab, sejak dulu sektor industri membutuhkan lahan pertanian yang subur dan berdekatan dengan sungai atau jaringan irigasi guna mendapatkan sumber air dan saluran pembuangan. Itu sebabnya, lahan pertanian menyusut pesat.
Telah terjadi konversi lahan yang berlebihan sehingga lahan pertanian cenderung mengalami penyusutan yang cukup pesat. Hal ini tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat. Banyak sisi positif dari adanya konversi lahan yang tidak selamanya akan merugikan masyarakat. Banyak di antara masyarakat yang menjual lahan pertaniannya dengan harga tinggi bahkan berlipat-lipat untuk kembali membeli lahan baru dengan lahan yang lebih luas dari sebelumnya dengan harga yang relatif rendah dengan produktivitas yang tinggi pula. Jika pemerintah tetap mengedepankan lahan pertanian yang tidak boleh diganggu gugat oleh pihak investor, maka Indonesia akan tetap bejibaku sebagai negara pertanian yang dalam konteks percaturan dunia sebagai negara miskin akan pendapatan negara. Jangan sampai terjadinya konversi di daerah subur adalah sah namun di sisi lain mustahil adanya jika para investor harus membangun modalnya di daerah tandus yang jauh dari pusat pertumbuhan kota. Yang terpenting adalah tidak selamanya konversi lahan berakibat buruk bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat asalkan ada lahan pengganti yang subur dengan membuka lahan pertanian baru dengan tetap mengedepankan nilai kelestarian lingkungan. Bagaimanapun juga pembangunana sarana infrastruktur harus tetap dijalankan karena ini menyangkut harkat hidup orang banyak.
Konversi lahan harus di lahan yang tidak subur, namun perlu ditinjau pula dari segi ketersediaan keruangan lahan yang tidak subur tersebut dari ketersediaan Sumber Daya Alam dan kemudahan dalam akses ke pasar atau tempat lain. Bagaimana kita harus mencari sistem pemecahan masalah ini yang tidak akan berdampak buruk bagi sistem lainnya. Peranan pemerintah, investor, masyarakat dalam hal ini para petani dalam konversi lahan demi tidak adanya kepentingan yang merasa dirugikan sangat menentukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
BAB III
PENUTUP
Konversi lahan merupakan salah satu fenomena yang cukup marak terjadi dalam pemanfaatan lahan. Hal tersebut mengingat makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan. Kendati pemerintah setempat telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan masih lemah.
Pendataan lahan yang terkoordinir dan terpadu diiringi dengan penyusunan strategi kebijakan pengendalian konversi lahan yang holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan. Sudah saatnya akurasi pengumpulan dan penyajian data jadi perhatian pihak-pihak berkepentingan. Sudah saatnya juga apresiasi dan responsibilitas data disosialisasikan kepada semua pihak. Sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, pihak pemerintah daerah seyogyanya menginisiasi pembuatan peta komprehensif desa dengan melibatkan beberapa pihak (pemetaan partisipatif) yang difasilitasi pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta sekaligus diiringi dengan pembekalan pemahaman tentang pentingnya data dan informasi. Agregasi peta-peta komprehensif desa diharapkan dapat melahirkan peta regional dan nasional yang lebih terpercaya, sehingga pada gilirannya peta-peta tersebut dapat dimanfaatkan khususnya dalam rangka penyusunan kebijakan konversi lahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar