:)

:)

Senin, 07 Februari 2011

makalah tentang “SEJARAH DAN LANDASAN PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA"

SEJARAH DAN LANDASAN

PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

  1. Sejarah Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sejarah pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh C.G van Huls yang kemudian dikutip oleh Irawan Soerojo, C.G van Huls membaginya menjadi 3 (tiga) periode, yaitu (C.G Van Huls, 2003):

1. Periode kacau balau, yaitu sebelum tahun 1837

2. Periode ahli ukur pemerintah, yaitu antara tahun 1837 hingga tahun 1837

3. Periode jawatan pendaftaran tanah, yaitu sesudah 1875

Gambaran yang lebih jelas mengenai periode-periode ini akan diuraikan di bawah ini :

1. Periode kacau balau ( sebelum tahun 1837 )

VOC yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1602, mendapat hak untuk melakukan perdangangan, hak-hak tersebut membuat VOC menganggap dirinya memiliki hak atas tanah-tanah yang berada dalam kekuasaannya. Pada tanggal 18 Agustus 1620, VOC mengeluarkan suatu plakat atau maklumat yang merupakan dasar pelaksanaan kadaster pertama dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Hindia Belanda. Pendaftaran tanah yang dilakukan terebut meliputi pendaftaran segala pekarangan dan pepohonan yng telah diberikan oleh VOC serta pencatatan nama-nama pemiliknya.

Penyelenggaraan kadaster ini merupakan penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam arti yang kuno yaitu pendaftaran tanah yang dilakukan tanpa didasarkan pada peta-peta tanah. Dalam peleksanaan pendaftaran tanah tersebut dibentuk suatu Dewan yang bernama dewan Heeraden, dimana tugas dari dewan tersebut adalah membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya yang pad setiap petany dicatat luas dari tiap-tiap tanah serta nama pemiliknya. Terdapat beberapa hal yang patut dicatat dalam pelaksanaan kadaster tersebut yaitu:

a. penyelenggaraan kadaster oleh Dewan Heemraden harus dilaksanakan berdasarkan peta-peta tanah sehingga hal ini berarti Dewan Heemraden harus menyelenggarakan suatu kadaster dalam arti yang modern.

b. Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk tujuan pemungutan pajak tanah dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai batas-batas tanah.

c. Dewan Heemraden di samping menyelenggarakan kadaster bertugas pula untuk menyelenggarakan perkara-perkara yang berkaitan dengan batas- batas tanah serta pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran- saluran air, tanggul-tanggul dan bendungan-bendungan.

2. Periode ahli ukur pemerintah ( antara tahun 1837 hingga tahun 1837 )

Pada periode ini gubernur jenderal memberikan instruksi kepada para ahli ukur di Jakarta, Semarang, dan Surabaya untuk menyelenggarakan kadaster secara lebih terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan suatu kadaster dalam arti yang modern. Ahli ukur pemerintah bertugas untuk:

a. menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada atau peta-peta tanah yang dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelum berlakunya instruksi tersebut dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang tanah yang belum diukur dan dipeta;

b. menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:

1. daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidang tanah didaftar menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang tanah yang diperlukan;

2. daftar dari semua peta seperti peta kasar dan peta-peta lain;

3. daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-penaksiran.

c. memberikan Landmeterkennis.

Dengan adanya ketentuan pasal 12 Staatsblad 1837 nomor 3 dinyatakan bahwa jika para ahli ukur menganggap perlu adanya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, maka pembeli atau penjual wajib meminta pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan kepada para ahli ukur dengan biaya sendiri. Tanpa adanya pengukuran dan pemetaan ahli ukur dapat menolak memberikan Landmeterkennis. Tujuannya adalah agar para ahli ukur menyesuaikan bidang-bidang tanah yang telah dipeta dengan perubahan-perubahan yang terjadi, sehingga peta-peta tanah tersebut akan selalu sesuai dengan keadaan bidang-bidang tanah yang sebelumnya.

3. Periode pendaftaran tanah

Pada periode ini pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas mempelajari kembali perlu dan tidaknya penataan kembali kadaster. Kemudian diusulkan bahwa kadaster harus diadakan secara radikal, harus dimulai dari Jakarta yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain. Dengan Staatsblad 1875 nomor 183 diatur secara rinci mengenai penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pada pasal 20 dinyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang harus diukur dan dipeta adalah:

a. bidang tanah yang dipunyai oleh orang atau badan hukum dengan sesuatu hak;

b. bagian-bagian dari bidang tanah hak jika bagian-bagian dari bidang tanah itu terpisah oleh batas alam atau jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman-tanaman yang berbeda-beda;

c. memelihara kadaster;

d. mengeluarkan surat–surat keterangan pendaftaran (Landmeterskennis) dan surat -surat ukur, memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan orang-orang melihat peta-peta kadaster dan daftar-daftar serta member keterangan lisan isi dari peta-peta dan daftar-daftar itu.

Namun demikian penyelenggaraan kadaster ini mengalami kegagalan, yangmenjadi penyebab utama adalah rumusan bidang-bidang tanah yangditetapkan dalm pasal 20 Staatsblad 1875 nomor 183. Adapun kesulitan- kesulitan yang timbul antara lain:

a. adanya penggolongan bidang-bidang tanah menurut penggunaannya dan bidang-bidang tanah kadaster yang harus diukur dan dipeta pada peta-peta kadaster maka peta-peta itu dengan sendirinya merupakan peta-peta dari bidang tanah menurut penggunaannya yang batas-batas bidang tanah pada peta-peta kadaster tersebut terdiri dari batas-batas hak dan batas-batas penggunaannya. Batas-batas bidang tanah menurut penggunaannya sering mengalami perubahan-perubahan batas, dan di dalam praktiknya merupakan suatu pekerjaan yang riskan karena selain menghabiskan waktu yang banyak, juga mengakibatkan terlantarnya pemeliharaan peta- peta kadaster. Terlantarnya pemeliharaan peta-peta kadaster mengakibatkan pemeliharaan daftar tanah tidak dapat pula dilakukan sebagaimana mestinya sehingga dibuatnya daftar-daftar tanah kehilangan manfaatnya.

b. Bidang-bidang tanah hak yang dipergunakan untuk beberapa hal akan diukur dan dipeta pada peta kadaster dalam beberapa bidang tanah kadaster, maka bidang tanah hak itu akan memperoleh beberapa surat hak atas tanah dan nomor kadaster. Oleh karena nomor kadaster dari suatu bidang tanah, maka nomor-nomor suatu bidang tanah hak dapat berubah meskipun batas-batas bidang tanahnya tidak berubah. Hal ini menyebabkan bidang tanah hak harus diuraikan dalam surat hak atas tanah peralihan dengan nomor kadaster yang berbeda dari nomor kadaster yang dipakai pada surat hak atas tanah sebelumnya. Penggunaan nomor-nomor kadaster yang berlainan dalam menguraikan bidang tanah yang sama dapat dengan mudah menimbulkan kesalahan-kesalahan. Meskipun pendaftaran kadaster tersebut mengalami suatu kegagalan, hal tersebut patut diakui bahwa kadaster baru tersebut manfaatnya sangat besar. Penyelenggaraan kadaster baru itu telah membawa keuntungan-keuntungan, yaitu:

a. timbulnya kesadaran pada para ahli ukur tanah bahwa kadaster harus diselenggarakan dengan pembuatan peta-peta secara teliti;

b. penyelenggaraan tata usaha kadaster meskipun dilakukan menyimpang dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, namun tetap dilakukan secara seksama;

c. tenaga-tenaga pelaksananya memperoleh pendidikan yang cukup baik.

B. Ordonansi Balik Nama

Menurut Irawan Soerodjo bahwa dasar pertama penyelenggaraan pendaftaran hak di Indonesia dilakukan oleh VOC berdasarkan plakat 18 agustus 1620, kemudian berdasar hukum Staatsblad 1834 nomor 27 tentang Ordonansi Balik Nama.

1. Periode sebelum ordonansi balik nama

Dalam plakat tertanggal 18 agustus 1620, dinyatakan setiap orang dilarang untuk memindahkan, mengasingkan atau membebankan dengan hipotik, rente atau gadai rumah, tanah atau pohon buah-buahan. Apabila akan dilakukan harus dilakukan dihadapan 2 (dua) orang schepen, yang tugasnya melakukan pencatatan pengalihan hak yang diberitahukan kepada mereka dalam suatu daftar-daftar tanah. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut yaitu: pembatalan, pengalihan hak yang bersangkutan, penyitaan tanah yang bersangkutan, maupun denda.

2. Periode ordonansi balik nama

Tanggal 21 april 1834 diberlakukan staatsblad 1834 nomor 27 tentang Bea Balik Nama yang kemudian dikenal dengan nama Ordonansi Balik Nama. Tujuan dikeluarkannya ordonansi ini adalah mengatur kembali ketentuan- ketentuan mengenai pendaftaran hak, dan mengatur kembali ketentuan- ketentuan bea balik nama. Pokok-pokok dari pendaftaran hak yang diatur dalam Ordonansi Balik Nama adalah sebagai berikut:

a. setiap peralihan hak harus didaftar pada pejabat balik nama (overschrivings ambtenaaren) yang dibantu oleh pejabat-pejabat pembantu;

b. pembuatan akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik nama (acte van overschrivings) oleh pejabat balik nama;

c. asli akta balik nama disimpan oleh pejabat pembantu dalam 2 (dua) bundle terpisah, yaitu bundel koopbrieven dan bundel hypotheekbrieven,sedangkan kepada yang bersangkutan diberikan salinan sah (grosse) akta balik nama;

d. pejabat balik nama dan pejabat pembantu bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian yang timbul akibat kelalaian mereka dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh ordonansi balik nama;

e. surat keterangan pendaftaran tanah (landmeterskennis), dan surat ukur pemisahan.

Dalam pasal 20 ordonansi balik nama, dinyatakan bahwa dalam pembuatan akta balik nama karena jual beli, maka pembeli harus hadir dan memberikan keterangan bahwa ia telah menerima penyerahan tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut maka, peralihan hak karena jual beli dari penjual kepada pembeli terjadi setelah akta balik nama dibuat. Sehingga pendaftaran merupakan syarat mutlak bagi peralihan hak karen jual beli, seuai dengan pasal 1496 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hak eigendom atas benda yang telah dibeli baru beralih kepeda pembeli setelah dilakukan suatu penyerahan (levering).

C. Landasan dan Urgensi Pendaftaran Tanah

Tanggal 24 September 1960 merupakan tonggak bersejarah dalam hukum tanah Nasional kita, hal ini disebabkan pada tanggal tersebut lahirlah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang selanjutnya biasa kita kenal dengan sebutan UUPA. Lahirnya UUPA ini merupakan pengejawantahan dari pasal 33 UUD 1945. Sebelum berlakunya UUPA, hanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat, misalnya Hak Eigendom, Hak Opstal, dan Hak Erfpacht yang dilakukan pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, dan kepada pemegang haknya diberikan suatu tanda bukti berupa akta yang dibuat oleh Pejabat Balik Nama (Overschrijvings Ambtenaar). Pendaftaran tanah untuk tanah-tanah sebagaimana disebutkan diatas ini dikenal dengan Recht Kadaster. Sebenarnya di masa yang lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga bersifat yuridis. Pendaftaran ini didasarkan pada hukum adat setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, dan ada pula yang didasarkan pada peraturan yang bersifat Nasional, misalnya saja :

1. Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi (Landrente),sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administrasi sesuai dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat menganggap surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang terkena pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di tangannya.

2. Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh Pengurus Subak di Bali berdasarkan hukum adat setempat.

3. Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan peraturan Gemeente Medan.

4. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah yasan, tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan Pendaftaran Tanah tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi tujuannya untuk menentukan siapa individu yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik, atau petuk. Pendaftaran yang semacam ini dikenal dengan nama Fiscal Kadaster. Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam UUPA (undang-undang Pokok Agraria) pasal 19 yang menerangkan bahwa”

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dilakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran Tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

a. pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah;

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran Tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud ayat (1) di atas, dengan ketentuan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Pada Pasal 19 ayat 1 tersebut diperintahkan untuk dibuatkan aturan pelaksananya, oleh pemerintah telah diterbitkan 2 Peraturan Pemerintah antara lain :

1. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961

Sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, dikenal kantor Kadaster sebagai Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Didalam pasal 19 ayat 1 UUPA telah ditegaskan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 sebagai berikut :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar.

3. Untuk menyelenggarakan tertib administrasi pertanahan.

2. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997

Kemudian, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang lebih memperkaya pasal 19 UUPA, yaitu :

1. Bahwa diterbitkan sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

2. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberian informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah / bangunan yang ada.

3. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.

Untuk selanjutnya Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif tanggal 8 Oktober 1997. Kedua peraturan ini adalah bentuk pelaksanaan dari pendaftaran tanah dalam rangka rechtskadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada proses akhir pendaftaran tersebut berupa Buku Tanah dan Sertifikat Tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat (1) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2), dan pasal 38 ayat (2) UUPA. Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak.


Telaah dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, dan Instruksi Presiden Republi

TUGAS

POLITIK PERTANAHAN

Telaah dan Pembahasan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, dan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1976





Oleh :

DIAN AGUSTIA

NIM : 09182423

Semester III Program Diploma IV Pertanahan

BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

YOGYAKARTA

2010


A. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

a. unsur-unsur penting dari dibentuknya Undang-Undang ini adalah tanah, pemilik, hasil tanah, petani, penggarap dan perjanjian bagi hasil

b. tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan;

c. pemilik, ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah;

d. perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak - yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak;

e. hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termaksud dalam huruf e pasal ini, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen;

f. petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian

g. yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar.

h. Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat.

i. Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang.

j. Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam pasal 7.

k. Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.

l. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.

m. Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya.

n. Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik.

o. Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;

1. pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau

2. penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2;

3. barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat 3.

B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

  1. Unsur-unsur dalam Undang-Undang ini yaitu : hutan, hasil hutan, kehutanan, kawasan hutan dan menteri kehutanan
  2. "Hutan" ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan.
  3. "Hasil Hutan" ialah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan.
  4. "Kehutanan" ialah kegiatan-kegiatan yang bersangkut- paut dengan hutan dan pengurusannya.
  5. "Kawasan Hutan" ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap.
  6. "Menteri" ialah Menteri yang diserahi urusan Kehutanan.
  7. "Hutan Negara" ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik.
  8. "Hutan Milik" ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.
  9. "Hutan Lindung" ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah
  10. "Hutan Produksi" ialah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
  11. "Hutan Suaka Alam" ialah kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya"Hutan Wisata" ialah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata dan/atau wisata buru, yaitu:
  12. Hutan yang berada di dalam Kawasan Hutan adalah "Hutan Tetap". Hutan yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukannya belum ditetapkan adalah "Hutan Cadangan". Hutan yang ada di luar kawasan hutan dan bukan hutan cadangan adalah "Hutan lainnya".
  13. Hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (1) memberi wewenang untuk:

1. Menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukkan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan Negara.

2. Mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar- besarnya dari hutan secara lestari ditetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, dengan luas yang cukup dan letak yang tepat. Penetapan kawasan hutan tersebut dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah.Penetapan tersebut didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan: Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Suaka Alam dan/atau Hutan Wisata.

Guna mengetahui modal kekayaan alam yang berupa hutan di seluruh wilayah Republik Indonesia, diselenggarakan inventarisasi hutan guna keperluan perencanaan pembangunan proyek-proyek Kehutanan secara nasional dan menyeluruh. Untuk pengusahaan hutan tertentu secara lestari dan tertib, perlu disusun suatu rencana karya atau bagan kerja untuk jangka waktu

tertentu yang harus didahului dengan penataan hutan.

PENGURUSAN HUTAN

Pengurusan hutan bertujuan untuk mencapai manfaat. yang sebesar besarnya secara serbaguna dan lestari, baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila, didasarkan atas rencana umum dan rencana karya. Kegiatan pengurusan hutan tersebut meliputi:

a. Mengatur dan melaksanakan perlindungan, pengukuhan, penataan, pembinaan dan pengusahaan hutan serta penghijauan;

b. Mengurus Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata serta membina margasatwa dan pemburuan;

c. Menyelenggarakan inventarisasi hutan;

d. Melaksanakan penelitian tentang hutan dan hasil hutan sertaguna dan manfaatnya, serta penelitian sosial ekonomi dari Rakyat yang hidup di dalam dan sekitar hutan;

e. Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan dalam bidang Kehutanan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan Hutan Negara yang sebaik-baiknya, maka dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan Hutan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pengurusan Hutan Negara dilaksanakan oleh Badan-badan Pelaksana yang diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pengurusan Hutan Milik dilakukan oleh pemiliknya dengan bimbingan Menteri dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini. Pengurusan Hutan Milik yang dilakukan bertentangan dan kepentingan umum, dapat dituntut. Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang Kehutanan kepada Pemerintah Daerah dengan Peraturan Pemerintah.

PENGUSAHAAN HUTAN

Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meningggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan menurut rencana karya atau bagan kerja, dan meliputi: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Pada dasarnya pengusahaan Hutan Negara dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasarkan Undang-undang yang berlaku. Pemerintah dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama di bidang Kehutanan. Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan. Kepada warganegara Indonesia dan Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan. Pemberian hak-hak tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

PERLINDUNGAN HUTAN

Hutan perlu dilindungi supaya secara lestari dapat memenuhi fungsinya. Perlindungan hutan meliputi usaha-usaha untuk:

a. Mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.

Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaikbaiknya

maka rakyat diikutsertakan. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah. Pemburuan swasta liar diatur dengan Peraturan Perundangan, dengan mengindahkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang ini. Pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-undang ini. Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan dan Kehutanan, maka kepada petugas Kehutanan sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Pelaksanaan dari pemberian wewenang ini diatur bersama oleh Menteri dan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian.

C. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum

Instruksi ditujukan kepada:

1. Menteri Dalam Negeri;

2. Menteri Pertanian;

3. Menteri Pertambangan;

4. Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi;

5. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik;

Tujuan :

1. Meningkatkan sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang masing-masing sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dengan menggunakan Pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden ini.

2. Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan agar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS BIDANG KEAGRARIAAN

I. PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HUTAN.

1. Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan diberikan dengan mengikuti tatacara yang ditetapakan dalam peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam memberikan perimbangan berkenan dengan pemberian Hak Pengusutan Hutan harus benar-benar memperhatikan status hak tanah, perencanaan penggunaan tanah, dan kemungkinan adanya penetapan/penggunaan lain atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak pengusahaan Hutan tersebut.

3. Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat seperti dimaksud dalam angka 2, juga harus benar-benar diperhatikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam memberikan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

4. Dengan tidak mengurangi kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku, Menteri Pertanian, demikian pula Gubernur kepala Daerah Tingkat I, dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan harus berusaha untuk mencegah terjadinya pertindihan penetapan/penggunaan tanah yang bersangkutan.

5. Terhadap areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengusahaan Hutan, makakepada Hak Pengusahan Hutan diwajibkan untuk mengusahakan agar setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterimanya Keputusan Pemberian Hak Pengusahaan Hutan tersebut.

6. Hak Pengusahaan Hutan hanya diberikan atas kawasan hutan dan atau atas areal tanah yang diatasnya terdapat tegakan hutan.

7. Di dalam Persyaratan Pengusahan Hutan oleh Menteri Pertanian harus dicantumkan, bahwa apabila bagian-bagian areal yang oleh Pengusaha ternyata digunakan untuk tujuan lain dari pada penggunaan yang telah ditentukan, atau tidak lagi dipergunakan untuk usaha sesuai dengan pemberian Hak Pengusaha Hutan, maka bagian-bagian tersebut harus segera dikeluarkan segera dari areal Hak Pengusaha Hutan tanpa menunggu sampai berakhirnya jangka waktu Hak Pengusahaan Hutan tersebut.

II. PELAKSANAAN PEMBERIAN KUASA PERTAMBANGAN DAN IZIN PERTAMBANGAN DAERAH.

1. Kuasa Pertambangan dan izin Pertambangan Daerah diberikan dengan mengikuti tatacara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam memberikan pertimbangan berkenaan dengan pemberian Kuasa Pertambangan tersebut, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I harus benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan/syarat-syarat dimaksud dalam angka 2.

3. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat seperti dimaksud dalam angka 2, juga harus benar-benar diperhatian Gubernur Daerah Tingkat I dalam memberikan Izin Pertambangan Daerah.

4. Dengan tidak mengurangi kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, Menteri Pertambangan, demikian pula Gubernur kepala Daerah Tingkat I, dalam pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah Tingkat eksploitasi, harus mencegah terjadinya pertindihan penetapan/penggunaan tanah yang bersangkutan. Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah tidak dapat dicegah, maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967. Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah tersebut diatas, tidak meliputi areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan wisata (Taman wisata dan Taman Buru).

5. Di dalam Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah oleh Menteri Pertambangan maupun Gubernur kepala Daerah Tingkat I dicantumkan syarat-syarat dimaksud dalam angka 7.

6. Selain syarat dimaksud dalam angka 12, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 tahun 1967, maka setelah selesai melakukan peretambangan bahan galian pada areal Pertambangan, pemegang bahan galian pada areal Pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan maupun pemegang Izin Pertambangan Daerah diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya serta tidak merugikan kepentingan umum.

III. PENYEDIAAN AREAL TANAH UNTUK PROYEK TRANSMIGRASI DAN RESETTLEMENT DESA.

1. Areal tanah untuk proyek transmigrasi dan pemindahan pemukiman (“resettlement”) desa diselesaikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setelah dilakukan pemeriksaan oleh Lurah/Kepala Desa/Marga setempat dan disahkan oleh Camat dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan serta penelitian oleh suatu Panitia yang dibentuk untuk itu, dengan sungguh-sungguh memperhatikan hal-hal yang dimaksud dalam angka 2,

2. Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, dengan tidak mengurangi kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, harus berusaha mencegah terjadinya pertindihan penetapan/ penggunaan untuk lainnya.

3. Jika atas areal tanah proyek transmigrasi dan atau pemindahan pemukiman (“resettlement”) desa terdapat pertindihan dengan areal Hak Pegusahaan Hutan, maka hal itu harus dibicarakan/diselesaikan oleh Menteri-Menteri yang bersangkutan.

4. Penyelesaian yang sama seperti dimaksud dalam angka 16 dilakukan juga apabila aeral tanah Hak Pengusahaan Hutan itu akan dijadikan areal tanah perkebunan, maka hal itu harus ditempuh dengan mengikuti tatacara perolehan Hak Guna Usaha menurut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku. Apabila areal tanah yang dimohon dengan Hak Guna Usaha tersebut meliputi pula areal tanah/daerah kawasan hutan, maka harus dimintakan pertimbangan lebih dahulu dari instansi yang berwenang mengelola hutan tersebut.

IV. PERTIMBANGAN DAN KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I

1. Pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, baik untuk pemberian Hak Pengusahaan Hutan maupun Kuasa Pertambangan, demikian pula Keputusan tentang Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan serrta Izin Pertambangan Daerah, diberikan dengan kewajiban untuk menyampaikan tembusannya kepada Menteri Dalam negeri dan kepada menteri Pertanian sepanjang menyangkut pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan. Penyediaan suatu areal tanah untuk kepentingan Proyek Transmigrasi harus disampaikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I setempat kepada Menteri Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

V. PERLINDUNGAN/PENGAWETAN TANAH, PERAIRAN, DAN LINGKUNGAN

1. Menteri Pertanian, Menteri Pertambangan, demikian pula Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dalam melaksanakan pemberian Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Kuasa Pertambangan atau izin Pertambangan Daerah berkewajiban memperhatikan serta mengusahakan perlindungan/pengawetan tanah dan tata air serta sejauh mungkin mencegah terjadinya pencemaran, baik udara maupun air, yang dapat menimbulkan gangguan bagi masyarakt sekitarnya. Perlindungan/Pengawetan tanah dan tata air serta pencemaran udara maupun air tersebut, diwajibkan juga kepada Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, demikian pula Kuasa Pertambangan maupun Izin Pertambangan Daerah, dengan mencantumkannya sebagai salah satu syarat dalam keputusan pemberiannya.

VI. PELAKSANAAN STATUS HAK TANAH

1. Untuk areal Hak Pengusahaan Hutan yang merupakan tanah Negara yang penggunaannya secara langsung untuk usaha yang sesuai dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan, pemegang Hak Pengusahaan Hutan tidak diwajibkan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Dalam hal Pemegang Hak Pengusahaan Hutan memerlukan penggunaan sebidang tanah di dalam areal Hak Pengusahaan Hutannya yang penggunaannya tidak secara langsung untuk usaha yang sesuai dengan pemberian Hak pengusahaan Hutan tersebut, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah tersebut sesuai dengan penggunaannya, yakni setelah mendapat persetujan dari Menteri Pertanian, dengan mengikuti tatacara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan agararia yang berlaku. Dalam hal sebidang tanah yang di maksud terdapat tanah yang di kuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang sah, maka hak itu harus dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian dimohonkan haknya, dengan mengikuti tatacara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku. Dalam hal pengusahaan areal Hak pengusahaan Hutan memerlukan penetapan areal itu sehingga mengakibatkan penduduk dan atau masyarakat hutan setempat tidak dapat melaksanakan hak adanya, maka Pemegang Hak Pengusahaan Hutan harus memberikan ganti rugi kepada penduduk dan atau masyarakat hukum tersebut. Ketentuan-ketentuan/syarat-syarat tersebut dicantumkan dalam Keputusan pemberian Hak Pengusutan Hutan.

2. Untuk areal tanah Kuasa Pertambangan serta Izin Pertambangan Daerah yang merupakan tanah Negara tidak dipergunakan secara langsung untuk usaha yang sesuai dengan pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah, maka kepada pemegang Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah diwajibkan mengajukan permohonan untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Demikian pula apabila di dalam areal kuasa Pertambangan atau areal izin Pertambangan daerah tingkat eksploitasi terdapat bagian tanah yang dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang sah, maka pemegang Kuasa Pertambangan atau Izin Pertambangan Daerah harus membebaskan hak itu terlebih dulu. Untuk areal taqnah Kuasa Pertambangan atau Izin Pertambangan Daerah yang merupakan tanah Negara yang penggunaannya secara langsung untuk usaha atau izin Pertambangan Daerah, kepada pemegang Kuasa Pertambangan atau izin Pertambangan Daerah tidak diwajibkan untuk mengajukan permohonan memperoleh hak atas tanah tersebut. Dalam hal pengusahaan areal Kuasa Pertambangan atau Izin Pertambangan Daerah memerlukan penutupan areal itu sehingga mengakibatkan penduduk dan atau masyarakat hukum setempat tidak dapat melaksanakan hak adatnya, maka pemegang Kuasa Pertambangan atau Izin Pertambangan Daerah harus memberikan ganti rugi kepada penduduk dan atau masyarakat hukum tersebut. Ketentuan-ketentuan/syarat-syarat tersebut dicantumkan dalam Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan Daerah. Perincian mengenai penentuan penggunaan tanah secara langsung atau tidak langsung untuk usaha yang sesuai dengan pemberian Kuasa Pertmbangan atau Izin Pertambangan Daerah termaksud dalam ad. Ii di atas, dapat dicantumkan dalam Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan dan Izin Pertambangan daerah yang bersangkutan dan dapat pula diatur tersendiri oleh Menteri Pertambangan.

3. Atas tanah proyek Transmigrasi oleh Menteri Dalam Negeri diberikan Hak Pengelolaan kepada Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi sesuai dengan ketentuan dalam pengaturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila di dalam areal tanah Proyek Transmigrasi terdapat tanah yang dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang syah, maka hak-hak atas tanah itu oleh Menteri Tenaga Kerja, transmigrasi dan Koperasi harus diselesaikan terlebih dahulu secara musyawarah, dimana perlu dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut.

VII. PELAKSANAAN TUGAS BIDANG PEKERJAAN UMUM

1. Selain untuk hal-hal tersebut dalam angka 19, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I diwajibkan untuk mengamankan dalam pengadaan dan penyediaan tanah untuk pembangunan, serta mengusahakan kelestarian (perlindungan/pengawetan) atas tanah, air dan lingkungan di dalam wilayah kekuasaannya yang dapat mewujudkan terselenggaranya tertip pembangunan serta pula menjegah terjadinya kerusakan/pengurangan fungsi bangunan-bangunan pekerjaan umum, jalan-jalan, waduk-waduk, sungai/saluran air dan lain-lain yang termasuk dalam pelaksanaan tugas Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.

2. Perlindungan/pengawetan atas tanah, air, dan lingkungan dan meliputi

a. pengaturan, peruntukan dan penggunaan tanah;

b. wajib tanam/penghijauan/reboisasi;

c. mengusahaan kelestarian/penyelamatan tanah, pencegahan erosi yang dapat

antara lain menyebabkan pengendapan dan pendangkalan saluran-saluran dan

mengusahakan kelestarian bantaran sungai

d. pengaturan pengawasan penebangan hutan;

e. pengaturan untuk mencegah pencemaran udara dan air;

f. pengamanan sumber-sumber air dan menjaga kelestarian air.

Dalam melaksanakan tugas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I harus meminta serta pemperhatikan petimbangan teknis dari Departemen/Instansi yang bersangkutan.

3. Untuk mengamankan tugas Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dalam pengadaan dan penyediaan sarana-sarana kota serta pembangunan perumahan, penyediaan air minum, saluran pembuangan kotoran, listrik, dan sebagainya agar terjamin pembangunannya secara terencana efesien dan ekonomis, mutlak dibutuhkan adanya rencana kota. Tugas merencanakan kota merupakan wewenang perintah kota Kepada setiap pemerintah kota diwajibkan untuk menyusun rencana kota untuk kota masing-masing, dengan mentaati ketentuan pembuatan rencana kota sebagai berikut :

a. Penyusunan rencana kota dilakukan dan menjadi tanggung jawab Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dari Kota yang bersangkutan;

b. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menetpkan rencana kota dengan Peraturan Daerah;

c. Berlakunya Peraturan Daerah mengenai rencana kota, wajib memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri Pekerjaam Umum dan Tenaga Listrik, bagi kota-kota berkedudukan sebagai ibu kota Daerah Tingkat I, dan kepala-kepala Daerah setingkat lebih atas bagi kota-kota lainnya.

4. Penentuan lokasi proyek-proyek pembangunan dalam kota harus selalu sesuai dengan rencana kota yang berlaku, sehingga bagi kota terutama yang akan melakukanatau menghadapi pembangunan proyek dalam skala besar sepeti “industri estate”,“real astate” dan sebagainya, diwajibkan untuk lebih dulu menyusun dan mengusahakan pengesahan bagi pola dasar peruntukan dan penggunaan tanah dalam wilayahnya. Apabila lokasi proyek sudah sesuai dengan rencana kota, maka sebelum pembangunan dimulai, Pemerintah Daerah dapat menugaskan pembangunan dimulai, Pemerintah Daerah dapat menugaskan kepada pemegang hak atas tanah yangbersangkutan untuk atas nama dan dengan pengarahan dari Pemerintah menyusun rencana terperinci mengenai wilayah/daerahnya, asalkan segala sesuatunya dilakukan menurut dan sesuai dengan syarat-syarat pembuatan rencana kota. Apabila lokasi proyek tidak sesuai dengan rencana kota dan dapat menimbulkan perubahan strukturil pada rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah ditentukan dalan rencana kota, maka apabila proyek tersebut mempunyai nilai vital/strategis dan dipandang perlu dapat diadakan revisi terhadap rencana kota, asalkan revisi itu mengikuti prosedur yang sama dengan pembuatan rencana kota.

5. Dalam hal usaha perlindungan/pengawetan tanah sehingga dimaksud dalam angka 23 dan 24 serta usaha pelaksanaan rencana kota menyangkut/memerlukan tanah yang dikuasi oleh pemegang hak atas tanah yang harus dibebaskan haknya, maka penyelesaiannya dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Masalah pertanahan serta pelaksanaan tugas pembinaan kota yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas Departemen Pekerjaan Umum dan tenaga Listrik, sepanjang belum ada ketentuan pengaturannya, dilakukannya penyelesaiannya bersama-sama oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.