:)

:)

Sabtu, 06 Agustus 2011

TUGAS TATA RUANG

TUGAS

MATA KULIAH TATA RUANG DALAM PERENCANAAN WILAYAH

“ Mitigasi Bencana Alam sebagai Basis Tata Ruang dalam Perencanaan Wilayah

di Provinsi Bengkulu “



KATA PENGANTAR

Bencana alam yang melanda Indonesia akhir-akhir ini memang mengkhawatirkan banyak pihak. Tidak hanya di anggap sebagai bencana nasional tapi juga sudah bertaraf internasional. Namun salah satu tahap penting yang juga dapat mengurangi dampak dan korban yang ditimbulkan bencana diabaikan begitu saja. Tahap tersebut dikenal dengan istilah umum “Siaga Bencana” dan istilah teknis “Mitigasi Bencana”.

Perihal penetapan tata ruang dalam perencanaan wilayah, mitigasi bencana dapat dijadikan acuan sebagai titik awal program mitigasi bencana alam di suatu wilayah. Sebagai wilayah yang di kaji oleh penulis dalam penyusunan tulisan ini, Provinsi Bengkulu telah menetapkan penyelenggaraan tata ruang dalam perencanaan wilayahnya dengan berbasiskan pada mitigasi bencana alam. Penulis berharap para mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan dari tulisan ini sebagai bekal kelak dalam menghadapi kompleksitas permasalahan tersebut di atas.

Pada akhirnya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan tulisan ini, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Serta tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung untuk terselenggaranya tulisan ini.

Yogyakarta, Maret 2011

Penulis



MITIGASI BENCANA ALAM SEBAGAI BASIS TATA RUANG

DALAM PERENCANAAN WILAYAH DI PROVINSI BENGKULU

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 telah memberikan pengaruh pada pergeseran nilai, pembangunan di seluruh wilayah Indonesia termasuk didalamnya wilayah Kota Bengkulu. Perubahan nilai yang terjadi setelah reformasi meliputi pergeseran dari sentralistik menjadi desentralistik. Dampak langsungnya adalah diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan tersebut dijamin dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diikuti Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka substansi dan esensi dari sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah menjadi semakin perlu untuk dimantapkan dan disempurnakan, guna lebih menjamin penyelenggaraan pembangunan di pusat dan daerah yang lebih berhasilguna dan berdayaguna.

Dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah, Pemerintah Provinsi Bengkulu perlu menetapkan Undang-Undang dan peraturan-peraturan dalam hal Rumah Tangganya. Termasuk salah satunya yaitu dalam permasalahan perencanaan pembangunannya, Pemerintah Provinsi Bengkulu harus dapat mengambil langkah cepat dan tepat dalam menetapkan Tata Ruang dalam Perencanaan Wilayahnya.

b. Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa Provinsi Bengkulu ditetapkan sebagai wilayah yang berpotensi dilanda sembilan bencana alam?

2. Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam perencanaan mitigasi bencana?

3. Mengapa mitigasi bencana memerlukan penataan ruang di Provinsi Bengkulu?


c. Tujuan

Tulisan ini membahas mengenai peran pentingnya mitigasi bencana dalam menentukan pelaksanaan penataan ruang dalam perencanaan wilayah di Provinsi Bengkulu. Dengan demikian peran penting tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan penetapan Tata Ruang dalam Perencanaan Wilayah yang tepat.


2. PEMBAHASAN

Bencana alam yang melanda Indonesia akhir-akhir ini memang mengkhawatirkan dan menggugah simpati kita semua untuk membantu meringankan beban korban bencana tersebut. Namun banyak yang melupakan satu tahap penting yang juga dapat mengurangi dampak dan korban yang ditimbulkan bencana. Tahap tersebut dikenal dengan istilah umum “Siaga Bencana” dan istilah teknis “Mitigasi Bencana”. Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi.

Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik, seperti membangun bangunan-bangunan yang lebih kuat, sampai dengan yang prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan lahan.Tahun 1990an akan menjadi satu dekade upaya besar untuk mendorong teknik-teknik mitigasi bencana dalam proyek-proyek pembangunan diseluruh dunia. Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengadopsi dekade tahun1990an sebagai Dekade Internasional untuk Pengurangan Bencana Alam. Tujuannya adalah untuk mencapai pengurangan yang signifikan dalam halkematian dan kerusakan materi yang disebabkan oleh bencana-bencana padaakhir dekade. DHA dan UNDP akan memainkan peran sentral di dalam mendorong pemerintah-pemerintah nasional dan badan-badan non-pemerintah untuk menangani isu-isu yang terkait dengan bencana lewat proyek-proyek yang dipusatkan secara langsung pada pengurangan dampak-dampak bahaya dan lewat penggabungan resiko kesadaran sebagai bagian dari operasi-operasi normal dari proyek-proyek pembangunan.

Wilayah Provinsi Bengkulu berpotensi dilanda sembilan bencana alam, yakni gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, longsor, kebakaran hutan, angin puting beliung, kekeringan, dan abrasi. Bagian paling kritis dari pelaksanaan mitigasi adalah pemahaman penuh akansifat bencana. Dalam setiap negara dan dalam setiap daerah, tipe-tipe bahaya-bahaya yang dihadapi berbeda-beda. Beberapa negara rentan terhadap banjir,yang lain mempunyai sejarah-sejarah tentang kerusakan badai tropis, dan yanglain dikenal sebagai daerah gempa bumi. Kebanyakan negara rentan terhadap beberapa kombinasi dari berbagai bahaya dan semua menghadapi kemungkinan bencana-bencana teknologi sebagai akibat kemajuan pembangunan industri.Pengaruh dari bahaya-bahaya yang mungkin muncul dan kerusakan yang mungkin diakibatkan tergantung pada apa yang ada di daerah itu: orang-orangnya, rumah-rumahnya, sumber daya kehidupan dan infrastruktur. Setiap negara berbeda-beda. Untuk lokasi atau negara tertentu penting untuk mengetahui tipe-tipe bahaya yang mungkin ditemui. Pemahaman dari bahaya-bahaya alam dan proses-proses yang menyebabkan bahaya-bahaya itu adalah tanggung jawab dari para ahliseismologi, vulkanologi, klimatologi, hidrologi dan para ilmuwan lainnya. Pengaruh-pengaruh dari bahaya-bahaya alam terhadap bangunan-bangunandan lingkungan buatan manusia adalah merupakan bahan kajian dari para insinyur dan para ahli resiko. Kematian dan luka yang disebabkan oleh bencana-bencana dan konsekuensi-konsekuensi dari kerusakan sehubungan dengan gangguan masyarakat dan dampak-dampaknya terhadap ekonomi menjadi bidang penelitian bagi para praktisi medis, ekonom dan ilmuan sosial. Ilmu pengetahuan masih relatif muda contohnya, sebagian besar catatan dari gempayang menimbulkan kerusakan dengan menggunakan instrumen-instrumen pembaca gerakan kuat diperoleh dua puluh tahun yang lalu, dan hanya semenjak adanya foto satelit badai-badai tropis sudah bisa secara rutin melacak. Pemahaman akan konsekuensi-konsekuensi dari kegagalan organisasi-organisasi sosial dan ekonomi-ekonomi regional bahkan baru belakangan inisaja terbentuk. Akan tetapi sekarang banyak buku-buku dan studi kasus-studi kasus yang mendokumentasikan insiden bencana-bencana dan semakin berkembangnya pengetahuan tentang bahaya-bahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Pemahaman bahaya-bahaya mencakup memahami tentang:

· bagaimana bahaya-bahaya itu muncul

· kemungkinan terjadi dan besarannya

· mekanisme fisik kerusakan

· elemen-elemen dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan terhadap pengaruh-pengaruhnya

· konsekuensi-konsekuensi kerusakan

Posisi dan letak geografis Provinsi Bengkulu yang menimbulkan peluang besar terhadap keberadaan bencana alam, khususnya gempa bumi dapat dilihat pada gambar berikut :



http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2008/01/05/112031p.jpg


Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berbasis mitigasi bencana merupakan amanah dalam UU No 24 Tahun 2007 tentang RTRW. Bappeda bersama UNDP dan Swisscontact bekerja sama untuk menyusun RTRW berbasis mitigasi bencana tersebut dan saat ini dalam proses pembahasan di tingkat Bappeda kabupaten/kota dan dinas/instansi Provinsi Bengkulu.

Adapun program-program perencanaan mitigasi sebenarnya tidak hanya pada penyelenggaraan tata ruangnya saja, melainkan sebagai berikut :

· Tindakan-tindakan rekayasa dan konstruksi

· Tindakan-tindakan perencanaan fisik

· Tindakan-tindakan ekonomi

· Tindakan-tindakan institusional dan menejemen

· Tindakan-tindakan masyarakat

Akan di bahas 2(dua) program perencanaan mitigasi yang terdapat kaitannya dengan penyelenggaraan tata ruang dalam perencanaan wilayah, yaitu :

a. Mengurangi resiko

Perlindungan terhadap ancaman - ancaman dapat dicapai dengan menghilangkan penyebab-penyebab dari ancaman itu, ( mengurangi bahaya ) atau dengan mengurangi pengaruh-pengaruh dari ancaman jika ancaman itu muncul (mengurangi kerentanan dari elemen-elemen yang beresiko ) Untuk sebagian besar bencana alam, tidak mungkin untuk mencegah terjadinya proses geologi atau- proses meteorologi: gunung meletus, terjadinya gempa bumi, siklun danamukan badai angin. Fokus kebijakan-kebijakan mitigasi terhadap bahaya-bahaya ini terutama sekali pada pengurangan kerentanan elemen-elemen yang mungkin terpengaruh. Beberapa bahaya alam dapat dikurangi dalam keadaan-keadaan tertentu, sebagai contoh, konstruksi tanggul-tanggul di sepanjang tepian-tepian sungai-sungai tertentu mengurangi kemungkinan sungai-sungaiitu membanjiri daerah-daerah di sekitarnya, dan konstruksi ini bisa juga mencegah tanah longsor dan runtuhan batu dari perkembangan lebih lanjutdengan menstabilkan tekanan-tekanan tanah, membangun tembok-tembok penahan dan memperbaiki drainase lereng-lereng. Unsur-unsur perusak dari beberapa bahaya-bahaya alam dapat ditampung dengan pekerjaan-pekerjaan teknik sipil atau pembelokkan dari elemen-elemen penting dalam kanal-kanal dan penggalian-penggalian. Dalam beberapa kasus penanaman pohon bisa menjadi cara yang efektif baik untuk mengurangi potensi bahaya banjir dan lumpur longsor atau untuk memperlambat proses desertifikasi. Potensi untuk mengurangi tingkat bahaya diberikan dalam setiap profil bencana. Jelas, mencegah terjadinya kecelakaan-kecelakaan industri di tempat pertama adalah metode terbaik dari mitigasi bencana-bencana industri dimasa mendatang. Kebakaran, tumpahnya bahan kimia, kecelakaan-kecelakaan teknologi dan transportasi semuanya adalah bahaya-bahaya yang sebenarnya dapat dicegah. Untuk resiko bencana-bencana karena ulah manusia, fokusmitigasi bencana adalah dalam mengurangi atau mencegah bahaya-bahaya agartidak muncul. Sistim keamanan adalah satu bagian penting dari penguranganresiko-resiko dari bahaya-bahaya industri. Satu bentuk kumpulan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang tentang pengalaman industri-industriyang sudah lama mapan dapat diterapkan terhadap daerah-daerah industri yang masih baru.

Standar-standar keamanan, undang-undang konstruksi dan peraturan-peraturan bangunan membentuk bagian sarana normal yang digunakan pemerintah untuk membantu satu masyarakat melindungi dirinya sendiri. Salah satu tindakan-tindakan yang paling sederhana untuk dilakukan oleh otoritas nasional adalah meluluskan perundang-undangan untuk peraturan bangunan nasional yang memerlukan bangunan-bangunan baru dan infrastruktur yang tahan terhadap berbagai bahaya yang nyata di negara itu. Sebagian dari 40 negara rawan gempa baru-baru ini mempunyai undang-undang bangunan seismik untuk konstruksi baru. Akan tetapi, undang-undang saja kemungkinan hanya mempunyai pengaruh yang kecil saja jika para perancang bangunan tidak sadar akan undang-undang tersebut dan memahaminya, dan jika komunitas tidak mempertimbangkan undang-undang tersebut memang diperlukan, dan jika mereka tidak dipaksa olehpara pelaksana yang benar-benar kompeten. Keberagaman dari bahaya-bahaya dan cara-cara yang berbeda-beda untuk mengurangi pengaruh-pengaruh bahaya-bahaya yang bermacam-macam terhadap elemen-elemen yang beresiko lebih jauh lagi dipersulit oleh tipe kekuasaan-kekuasaan masyarakat dan budget-budget yang tersedia pada para pembuat keputusan. Tidak ada solusi yang baku terhadap mitigasi resiko bencana. Konstruksi dari proyek rekayasa berskala besar di Jepang dan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya untuk bisa memberikan perlindungan terhadap banjir dan aliran puing-puing gunung berapi, tidak memadai untuk melakukan mitigasi bahaya-bahaya yang sama di negara-negara berkembang. Penegakan peraturan-peraturan perencanaan kota, danapa yang dipertimbangkan sebagai satu tingkat yang dapat diterima olehcampur tangan dari otoritas tentang hak individu untuk membangun, sangat banyak berbeda dari satu negara ke negara lain, penegakan itu berbeda-beda dari situasi pedesaan ke situasi perkotaan dan dari satu komunitas dan budaya ke budaya yang berikutnya. Pelarangan pembangunan rumah-rumah pada lereng-lereng yang berbahaya mungkin kelihatan masuk akal akan tetapi tidak dapat dilaksanakan di kota-kota di mana tekanan-tekanan ekonomi untuk melokalisir lokasi-lokasi seperti itu melampaui masalah-masalah ketidaksahan. Hak dari insinyur perkotaan untuk menginspeksi daya tahan gempa dari satu bangunan yang sedang dibangun mungkin bisa diterima dikota-kota besar dari satu negara akan tetapi akan ditolak di desa-desa yanglebih terpencil dari propinsi yang sama.

b. Tindakan-tindakan perencanaan fisik

Banyak bahaya bersifat lokal dengan kemungkinan pengaruhnya yang terbatas pada daerah-daerah tertentu yang sudah diketahui: Banjir-banjirmempengaruhi dataran banjir, tanah longsor mempengaruhi lereng-lereng terjal yang lembek tanahnya, dll. Pengaruh-pengaruh itu dapat banyak dikurangi jika memungkinkan untuk menghindarkan penggunaan daerah-daerah bahaya untuk tempat-tempat hunian atau sebagai lokasi-lokasi struktur-struktur yang penting. Kebanyakan rencana induk untuk perkotaan yang melibatkan zona penggunaan lahan mungkin sudah mencoba untukmemisahkan aktivitas-aktivitas industri yang berbahaya dari pusat-pusat populasi yang besar. Perencanaan perkotaan perlu memadukan kesadaran akan bahaya-bahaya alam dan mitigasi resiko bencana ke dalam proses-proses normal dari perencanaan pembangunan dari satu kota.Lokasi fasilitas-fasilitas sektor umum lebih mudah untuk dikendalikan dibanding dengan lokasi sektor swasta atau penggunaan lahan. Penempatan yang hati-hati dari fasilitas-fasilitas sektor umum dapat dengan sendirinya memainkan satu peran yang penting dalam mengurangi kerentanan dari tempat hunian, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, fasilitas-fasilitas emergensi dan elemen-elemen infrastruktur besar seperti stasiun-stasiun pemompaan air, pengubah-pengubah tenaga listrik dan pertukaran informasi lewat telepon mewakili satu bagian penting dari berfungsinya satu kota. Satu prinsip yang penting adalah dekonsentrasi dari elemen-elemen yang berresiko: pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh satu fasilitas pusat selalu lebih berresiko dibanding dengan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas yang lebih kecil. Runtuhnya stasiun telepon pusat pada gempa bumi Mexico City pada tahun 1985 memutuskan jalur komunikasi di kota itu secara total. Dalam pembangunannya kembali, stasiun telepon pusat digantikan dengan sejumlah sistim telepon yang kurang rentan. Prinsip yang sama berlaku secara sama terhadap rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah, sebagai contoh seperti yang terjadi dengan stasiun-stasiun tenaga listrik dan pabrik-pabrik perawatan air.

Prinsip dekonsentrasi juga berlaku untuk kepadatan penduduk di kotabesar: satu konsentrasi orang yang semakin padat akan selalu mempunyai potensi yang lebih besar terkena bencana dibandingkan apabila penduduk itu semakin tersebar. Dimana kepadatan-kepadatan bangunan dapat dikendalikan, rencana induk perkotaan harus bisa merefleksikan distribusi ruang dari tingkat-tingkat bahaya dalam zonanya untuk kepadatan-kepadatan pembangunan yang diijinkan. Pengendalian tidak langsung terhadapkepadatan kadang-kadang mungkin dilakukan lewat metode-metode yanglebih sederhana seperti penggunaan jalan-jalan yang lebar, batasan-batasan ketinggian dan tata letak jalan yang membatasi ukuran tempat-tempat yang tersedia untuk pembangunan. Penciptaan lahan-lahan untuk taman mengurangi kepadatan perkotaan, dan juga memberikan ruangan di kota,tumbuh-tumbuhan, memungkinkan drainase untuk bisa mengurangi resiko banjir, menyediakan daerah-daerah penampungan untuk penduduk padasaat terjadi kebakaran di kota dan bisa memberikan ruangan untuk fasilitas-fasilitas emergensi pada saat terjadi satu bencana. Pada tingkat regional, konsentrasi pertumbuhan penduduk dan pembangunan industri di satu kota yang tersentralisir biasanya kurang diminati dibanding dengan pola desentralisir dari kota-kota sekunder, pusat-pusat satelit dan penyebaran pembangunan ke satu daerah yang lebih luas.Rancangan jaringan jalan, jaringan pelayanan pipa, dan kabel-kabel juga perlu perencanaan yang hati-hati untuk mengurangi resiko kegagalan. Jalur suplai yang panjang akan ber-resiko jika jalur tersebut terpotong dititik manapun. Jaringan-jaringan yang saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju ke titik manapun lebih sedikit kerentanannya terhadap kegagalan-kegagalan lokal asalkan bagian-bagian masing-masing dapat diisolasi jika perlu. Akses kendaraan menuju titik khusus kecil kemungkinannya untuk terpotong oleh penutupan jalan di dalam sistim jalan melingkar dibanding dengan sistim jalan jari-jari lingkaran.Para perencana kota juga bisa mengurangi resiko-resiko dengan mengubah penggunaan bangunan yang rentan yang sedang digunakan untuk tujuan penting. Satu sekolah yang berada pada bangunan yang lemah dapat dipindahkan ke bangunan yang lebih kuat dan bangunan yang lemah tersebut digunakan untuk fungsi yang kurang penting, seperti gudang.

Lokasi fasilitas-fasilitas sektor umum lebih mudah dikendalikan dibanding dengan fasilitas-fasilitas pada sektor swasta. Di banyak kota yang berkembang dengan cepat, penggendalian penggunaan lahan sektor swasta lewat perencanaan induk dan ijin-ijin pembangunan hampir tidak mungkin. Sering kali penggunaan lahan sektor swasta, sektor-sektor informal dan kota-kota kumuh yang merupakan resiko-resiko bencana yang paling tinggi. Dataran-dataran banjir dan lereng-lereng yang curam sering kali merupakan lahan-lahan marjinal yang tersedia bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan merupakan kelompok-kelompok sosial yang paling rentan. Tekanan-tekanan ekonomi yang mendorong kelompok-kelompok ini, pertama kekota untuk mencari kerja dan peluang-peluang, dan kedua ke lahan-lahan marjinal untuk bisa hidup, perlu dipahami secara penuh dalam konteks untuk mengurangi resiko mereka. Larangan atau tindakan-tindakan untuk mengeluarkan para penghuni dari daerah-daerah berbahaya kemungkinantidak berhasil untuk jangka panjang jika latar belakang masalah itu tidak pernah disentuh sama sekali. Beberapa tindakan tidak langsung mungkin saja bisa efektif, seperti menyediakan lahan yang lebih aman, atau membuat lokasi alternatif yang lebih menarik. Hal ini bisa dilakukan lewat penyediaan sumber-sumber pendapatan yang lebih baik, akses terhadap transportasi umum dan penyediaan pelayanan yang lebih baik. Menghambat pembangunan lebih jauh di daerah-daerah yang tidak dihuni dengan menyatakan daerah-daerah tersebut secara jelas sebagai zona-zona bahaya, menolak memberikan pelayanan, mengurangi akses dan membatasi tersedianya bahan-bahan bangunan mungkin juga bisa efektif. Akhirnya, bagaimanapun juga, hanya jika komunitas setempat mengetahui tingkat bahaya yang sebenarnya dan menerima bahwa resiko itu lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya bagi mereka dengan bertempat tinggal di daerah-daerah itu sehingga mereka akan menempatkan diri mereka sendiridi tempat lain atau melindungi diri mereka sendiri dengan cara-cara lain.

Sedangkan Undang-Undang yang mengatur mengenai mitigasi bencana yang memerlukan penataan ruang yaitu UU no 24 tahun 2007 Pasal 47, menyebutkan :

(1) Mitigasi Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.

(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pelaksanaan penataan tata ruang;
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan
c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional

maupun modern;


3. PENUTUP

a. Kesimpulan

Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Provinsi Bengkulu bekerja sama dengan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan lembaga nonpemerintah dari Swiss, Swisscontact, membahas mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berbasis mitigasi bencana. Hal ini dikarenakan Provinsi Bengkulu ditetapkan sebagai wilayah yang berpotensi dilanda sembilan bencana alam apabila dilihat dari posisi lempeng secara geografis.

Untuk menangani masalah bencana dikenal adanya penanggulangan bencana, yaitu suatu siklus kegiatan yang saling berkaitan mulai dari kegiatan perencanaan, pencegahan, kegiatan mitigasi, kegiatan kesiapsiagaan, kegiatan tanggap darurat, kegiatan pemulihan yang meliputi restorasi, rehabilitasi dan rekonstruksi, dan kegiatan pembangunan.

Dengan penataan ruang, kerugian dan korban akibat kerusakan ruang tinggal manusia akibat bencana bisa dikurangi. Telah dikaji pedoman penataan ruang untuk daerah rawan bencana sesuai dengan kategori bencananya, diantaranya yaitu

1. Pedoman Penataan ruang untuk daerah yang rawan bencana letusan- gunung berapi dan gempa bumi

2. Pedoman Penataan ruang untuk daerah yang rawan bencana tanah longsor

3. Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik Dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

b. Saran

Rencanakan mitigasi (mengurangi beban bencana) dengan cara :

· Mengatur sumber daya

· Mempelajari dampak dan risiko

· Mengembangkan rencana mitigasi

· Menerapkan rencana tata ruang wilayah dan memantau progres

Keempat proses ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bengkulu pada khususnya dan komunitas masyarakat secara bersama-sama. Pemerintah Provinsi Bengkulu harus merumuskan kebijakan, program kerja/aktivitas, dan perangkat untuk penerapan tindakan mitigasi ini. Mitigasi adalah tindakan terencana dan berkelanjutan agar bisa mengurangi dampak jangka panjang atas kehidupan dan properti di satu daerah yang terkena bencana.

TUGAS PENGUKURAN PEMETAAN KADASTERAL

TUGAS KELOMPOK

PENGUKURAN PEMETAAN KADASTRAL

PENGENALAN DAN APLIKASI GLOBAL NAVIGATION SATELLITE SYSTEM (GNSS) CONTINUOSLY OPERATING REFERENCE STATIONS (CORS)

PADA BPN RI






PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan berbasis satelit, tidak terlepas dari kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi. Dengan adanya kemajuan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kapasitas pelayanan pertanahan, khususnya di Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Guna memperlancar dan meningkatkan pelayanan tersebut perlu disiasati dengan memanfaatkan teknologi satelit penentuan posisi yaitu dengan menggunakan teknologi Continuosly Operating Reference Stations (CORS) / Jaringan Satelit Pertanahan Indonesia (JRSP) .

Secara prinsip, CORS yang merupakan jalinan beberapa stasiun referensi Global Navigation Satellite System (GNSS) permanen (base station), dapat merekam data ephemeris GNSS secara kontinyu, lalu disimpan dalam server dan dihitung secara teliti menghasilkan koreksi-koreksi yang dapat diberikan secara real time kepada receiver GNSS pengguna (rover) melalui sistem komunikasi NTRIP, guna mendapatkan koordinat secara cepat dengan ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan bagi kegiatan Pengukuran dan Pemetaan bidang tanah dalam rangka legalisasi asset (penerbitan sertipikat Hak Atas Tanah).

Sejak diberlakukannya PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah dan Peraturan pelaksanaannya, maka Geodesi Satelit ini sudah dipakai BPN RI dalam pelaksanaan Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan khususnya dalam penentuan Posisi Titik Dasar Teknik Orde 2 dan orde 3 . Dimulai Tahun 2009, Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan menginisiasi penggunaan Geodesi Satelit dengan applikasi Networked Real Time Kinematik (NRTK) atau CORS yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Jaringan Referensi Satelit Pertanahan (JRSP). Sehingga ilmu Geodesi Satelit ini sangat relevan untuk dipelajari oleh semua juru ukur Pertanahan diseluruh Indonesia.


B. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun Maksud dan Tujuan penyusunan Makalah ini adalah :

1. Sebagai pemenuhan tugas pada mata kuliah Pengukuran Pemetaan Kadastral

2. Agar Mahasiswa dapat menambah pengetahuannya tentang sejauh mana penggunaan Global Navigation Satellite System (GNSS) CORS pada BPN RI

3. Agar mahasiswa dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan signifikan koordinat batas bidang tanah hasil pengukuran menggunakan GNSS CORS yang dibandingkan dengan koordinat bidang tanah hasil pengukuran konvensional.

C. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana aplikasi GNSS CORS pada BPN RI

2. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran pemetaan sehingga dibutuhkan pengenalan dan aplikasi terhadap teknologi terbaru(GNSS CORS) untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.


PEMBAHASAN

Perkembangan teknologi penentuan posisi dengan satelit Global Navigation Satellite System (GNSS) memunculkan sistem pengadaan titik kontrol dasar modern sebagai referensi penentuan posisi untuk pengukuran dan pemetaan yang barsifat aktif, terus menerus dan dapat diakses secara real time. Sistem titik kontrol modern tersebut adalah CORS yang merupakan kependekan dari Continuosly Operating Reference Stations. Di berbagai negara, CORS telah berkembang pesat dan pemanfaatannya selain untuk titik kontrol/referensi yang bersifat aktif dalam survei pemetaan juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi.

Di BPN-RI (Badan Pertanahan Nasional RI) telah mulai dikembangkan CORS yang dikenal dengan JRSP (Jaringan Referensi Satelit Pertanahan). Teknologi sistem JRSP ini baru mulai dikembangkan untuk Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun anggaran 2010 telah dipasang 40 stasiun CORS/JRSP di Jawa dan Bali yang akan digunakan sebagai referensi aktif dan real time untuk mendukung program-program pertanahan seperti LARASITA. Karena teknologi ini relatif baru maka perlu disiapkan surveyor-surveyor modern di BPN yang harus bisa memanfaatkan CORS/JRSP tersebut.

A. Karakteristik GPS/GNSS

Global Positioning Systems (GPS) dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan dan waktu secara akurat yang dibagi dalam 3 (tiga) segmen GPS yaitu : Segmen Satelit, segmen Pengguna (receiver), dan segmen Kontrol. Satelit memancarkan sinyal dan data ke permukaan bumi yang diterima oleh receiver GPS dalam penentuan posisi yang terlebih dahulu sudah di centring ke suatu posisi tertentu. Dengan diketahuinya posisi satelit GPS di ruang angkasa dan diukurnya jarak antara satelit dan receiver, maka dapat ditentukan koordinat receiver dimaksud.

Segmen control satelit terletak di 4 (empat) lokasi yang menyebar diseluruh dunia dengan master kontrolnya berada di Colorado Spring, USA. Segmen Kontrol bertugas memelihara satelit GPS termasuk kesehatannya yaitu apakah berfungsi secara baik atau tidak. Selain itu juga segmen control ini menjaga agar posisi posisi satelit tidak keluar dari posisi yang telah ditentukan sebelumnay., menjaga agar semua komponen yang ada di satelit bekerja sebagaimana mestinya dan menentukan serta menjaga waktu sistim GPS.

Segmen pengguna adalah juru ukur yang memakai receiver GPS/GNSS dalam berbagai keperluan seperti Perhubungan, Pemetaan, Pendaftaran Tanah, Pertambangan, dll. Kegiatan utama dari segmen pengguna ini adalah : menerima (mengkoleksi) sinyal/Data GPS/GNSS dengan cara mengokupasi suatu titik yang akan ditentukan posisinya, Mengolah data yang dikoleksi untuk menentukan possi absolute (satu receiver) dan posisi relative (differensial/dua alat receiver), dan mendapatkan informasi tentang waktu berupa oscillator yang sangat teliti dan di relatifkan dengan sistim waktu tertentu.

Kegunaan dan kelebihan GPS/GNSS dari penentuan posisi lainnya adalah :

Dapat mengukur jarak panjang secara tidak langsung( lebih dari 2 km), hal ini tidak dapat dilakukan oleh EDM atau Total Stasion) dan tidak memerlukan saling melihat antar titik yang diukur (perhatikan Gambar 1.)

Gambar 1. Penentuan Jarak antara dua titik dibalik gunung

Juru ukur BPN tidak dapat memanipulasi data. Biasanya data-data ukuran polygon sudut dan jarak, dapat disesuaikan dengan besar koreksi yang diinginkan.

Hasil ketelitian jarak cukup teliti dalam fraksi mm (millimeter).

Pelaksanaan Pengukuran dapat dilangsungkan dalam 24 jam sehari (berarti malam dapat dilakukan pengukuran).

Operasional Pengukuran tidak tergantung cuaca (baik hujan maupun panas hari).

Disamping kelebihan-kelebihan diatas , GPS/GNSS memiliki keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut:

Sistim GPS/GNSS belum dapat digunakan didalam ruangan tertutup atau dibawah pohon yang rindang atau dibawah hutan yang lebat. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya propagasi (berjalannya) gelombang dari satelit ke receiver.

Pemancaran sinyal dan data GPS/GNSS diatur oleh pemiliknya masing-masing sehingga pemakai receiver GPS/GNSS sangat tergantung kepada pemilik Sistim.

Diperlukan biaya yang besar untuk mendidik dan melatih juru ukur BPN RI untuk memahami teknologi ini.

Pemakaian Sistim ini pada daerah yang padat gedung bertingkat akan mengalami kesulitan karena adanya pantulan gelombang yang mengakibatkan efek multipath, dimana hal ini sangat mempengaruhi ketelitian posisi titik yang diukur.

Perbedaan antara pengukuran metode konvensional apabila dibandingkan dengan penggunaan aplikasi GNSS CORS lebih jelas lagi dapat dilihat pada tabel berikut :

No.

Matriks Pembanding

Pengukuran Konvensional

Pengukuran Modern

1.

Alat yang digunakan

TS, teodolit, kompas, mid ban

GNSS receiver dan kombinasi

2.

Pengikatan

TDT orde sama / lebih tinggi

Tidak perlu pengikatan TDT

3.

Proses ukuran

Di kantor

Real time di lapangan

4.

Jumlah SDM

Minimal 3 (1 JU, 2 PU)

1 orang (JU)

5.

Potensi kesalahan

Acak, alat, SDM, rambat

Juru Ukur

6.

Referensi koordinat

Lokal

Global dan TM3

7.

Efisiensi

Rendah

Tinggi

B. Metoda Penentuan Posisi dengan GPS/GNSS

Metoda Penentuan Posisi yang berlaku secara umum dengan menggunakan Sistim GPS/GNSS berdasarkan kegunaannya (tingkat akurasinya) dibagi menjadi keperluan Survey dan Navigasi. Metoda yang dapat dipakai untuk kedua keperluan tersebut adalah metoda Absolut dan metoda relative (Differensial). Metoda- Diferensial dibagi menjadi dua yaitu Metoda Post Processing dan metoda Real Time (Kinematik satu Statik). Metoda Post Processing dapat dibagi menjadi metoda: Metoda Statik, Rapid Statik, Stop and Go, Pseudo Kinematik dan Kinematik. BPN RI pada pelaksanaan pengukurannya umumnya menggunakan Metoda Differensial Statik (Untuk Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik Orde 2 dan Orde 3) dan metoda Real Time Kinematik (RTK) yang pada saat ini sedang dikembangkan dalam rangka Pengukuran Dasar dan Pengukuran lainnya termasuk pengukuran Bidang Tanah. Kedua Metoda yang dipakai di BPN RI tersebut akan dibahas lebih dalam pada bagian lain.

Metoda Penentuan Posisi Kinematik dipakai untuk menentukan posisi dan kecepatan sesuatu benda yang bergerak seperti pesawat terbang dan kapal laut. Metoda ini dapat dlakukan secara Real Time Kinematik (RTK) atau Post Processing. Metoda Real time Kinematik langsung menghasilkan harga koordinat posisi dan kecepatan sesuatu benda yang bergerak secara langsung pada saat itu juga. Sedangkan metoda Processing memerlukan waktu untuk memproses data yang dikoleksi pada sesuatu benda yang bergerak dan data yang dikoleksi pada stasiun referensi pada durasi dan epok yang sama, kemudian datanya diolah dengan menggunakan software applikasi untuk menentukan besar vector base line serta posisi relative terhadap sistim koordinat tertentu.

Penentuan posisi dengan metoda Rapid Statik menggunakan dua alat receiver dimanasatu diam dan satu bergerak gerak berpindah dfari satu titik ke titik lainnya tetapi dengan waktu okupasi pada titik tersebut cukup singkat yaitu antara 5 sampai dengan 10 menit. Metoda ini dapat dipakai untuk penentuan posisi dengan ketelitian centimeter.

Penentuan Posisi dengan metoda Pseudo Kinematik menerapkan dua sesi okupasi data pada titik yang sama secara singkat (5 menit), dengan perbedaan satu sesi dengan lainnya kurang lebih 1 (satu) jam. Hal ini dimaksudkan agar kedua sesi pengamatan dilakukan pada dua geometric satelit yang berbeda.

Penentuan Posisi dengan metoda Stop and Go dilakukan dengan receiver GPS/GNSS yang bergerak dari satu titik ke titik lainnya, tetapi selama perjalanan dari satu titik ke titik lainnya receiver tetap melakukan koleksi data. Ukopasi pada titik yang akan ditentukan posisinya adalah kurang lebih 10 sampai dengan 15 detik. Metoda ini sangat memerlukan geometri Satelit yang sangat baik (satelit tidak berkumpul pada satu areal yang sempit) dalam rangka untuk mendapatkan hasil posisi yang baik.

C. Penentuan Posisi di BPN RI

Penentuan Posisi dengan menggunakan Sistim Satelit GPS/GNSS yang sudah biasa dilakukan di BPN RI adalah dua metoda sebagai berikut:

 Metoda Differensial Statik.

 Metoda Real Time Kinematik (RTK).

Metoda Differensial Statik bisanya dipakai dalam penentuan posisi Titik Dasar Teknik Orde 2 dan 3 dan metoda ini sudah dipakai sejak berlakunya PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Metoda Real Time Kinamatik yang dipakai di BPN RI adalah metoda penentuan Posisi dengan GNSS CORS (Global Navigation Sateellite Systems Continuously Operating Reference Stations) yang sudah dipasang 3 (tiga) stasiun referensi di Jabodetabek dan 37 (tiga puluh tujuh) stasiun Referensi lainnya yang tersebar di pulau Jawa dan Bali. Sehingga, Pulau Jawa sudah dapat menggunakan teknologi ini baik untuk Pengukuran Kawasan dan Wilayah Administrasi. Fasilitas GNSS CORS yang sudah terbangun ini dapat digunakan untuk pelaksanaan Pengukuran dan Pemetaan dengan metoda Post Processing dan Real Time.

Metoda Post Processing yaitu Metoda Pengukuran GNSS CORS dimana hasil koordinat yang diukur tidak secara seketika didapatkan tetapi dengan melalui tahapan setelah pelaksanaan koleksi data dilakukan. Data yang dikoleksi pada GNSS Rover pada titik titik tertentu telah memiliki epok dan durasi koleksi data tertentu pula. Pada epok dan durasi yang bersamaan data efemeris yang ditangkap pada stasiun referensi dan di koleksi pada server stasiun Pengontrol (Direktorat Pengukuran Dasar) dapat didownload pada Komputer yang telah memiliki Software Pengolah Data GNSS (contoh SKIPRO), sehingga dengan demikian dapat dihitung besar vector antara titik Stasiun Referensi (yang sudah mempunyai koordinat defenitif), sehingga otomatis koordinat titik titik yang diukur dapat dihitung koordinatnya relative terhadap titik titik Stasiun Referensi.

Pelaksanaan Pengukuran Real Time dengan menggunakan GNSS CORS yaitu menghitung dan menentukan koordinat titik-titik yang diokupasi (diukur) dengn menghasilkan koordinat differensial (teliti) terhadap titik Stasiun Referensi secara langsung (real time) terekam di Rover GNSS CORS. Pertama-tama Rover menghasilkan koordinat Absolut secara single positioning, posisi absolute kemudian dikirim ke server. Pada saat yang bersamaan Semua Stasiun Referensi yang telah memiliki koordinat defenitif mengirim data efemeris ke server kemudian data tersebut diolah dengan software applikasi ( misalnya SPIDER) dan akan menghasilkan koreksi yang akan diberikan kepada posisi absolute pada Rover. Pengiriman Data data efemeris maupun koreksi tersebut memerlukan sarana komunikasi data melalui jaringan Internet. Pada bagian Mata Ajar lain anda akan melakukan pengukuran penentuan posisi dengan metoda GNSS CORS baik secara post processing maupung Real Time Kinematik.

Metoda Penentuan Posisi secara Real Time Kinematik dibagi dalam dua bagian yaitu Single RTK dan Network RTK. Single RTK yaitu penentuan posisi titik dimana besarnya koreksi yang diberikan terhadap posisi absolutenya hanaya ditentukan oleh satu satsiun Referensi. Ketelitian dari hasil Penentuan Posisi dengan metoda Single RTK ini tergantung dari jarak antara Rover (titik yang ditentukan posisinya) dan Stasiun Referensi yang memberikan besar koreksi terhadap posisi Rover, biasanya diberikan dalam bentuk 10 mm ± 1 ppm (part per million) untuk X dan Y, sedangkan untuk ketelitian tinggi (Z) biasanya 30 mm ± 5 ppm (tergantung jenis dan merek alat yang digunakan). Metoda Network RTK yaitu penentuan posisi suatu titik di lapangan dengan memberikan koreksi kepada hasil koordinat absolut pada titik tersebut, dimana koreksi tersebut didapatkan dari hasil pengolahan data efemeris dari semua Stasiun referensi diwilayah yang bersangkutan yang di hitung dengan software aplikasi pada server stasiun pengendali. Pengiriman Data efemeris dari stasiun referensi ke server stasiun pengendali dapat menggunakan jaringan internet dan menghasilkan koreksi (koreksi besaran absolute ke besaran differensial antara rover dan stasiun referensi). Pengiriman posisi absolute suatu Rover ke stasiun pengendali dan pengiriman koreksi dari Server stasiun pengendali ke rover biasanya mengunakan mobile phone yang memiliki fasilitas GPRS (General Package Radio Service).


Sehingga Pembangunan CORS di BPN RI dapat dilihat dari bagan berikut :




Pemanfaatan penggunaan GNSS CORS pada BPN RI adalah untuk percepatan penyajian data spasial dalam rangka mendukung:

Penyelesaian sengketa pertanahan.

Percepatan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah.

Program – program unggulan BPN-RI :

1. Legalisasi Aset

2. Penertiban Tanah Terlantar

3. Reforma Agraria

4. LARASITA


PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tertib administrasi bidang di Indonesia diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal – hal yag dilakukan pada kegiatan pendaftaran tanah yang meliputi kegiatan pengukuran, pemetaan bidang tanah, dan pembukuan tanah yang direalisasikan dengan dilakukannya pengadaan titik dasar teknik nasioanal orde 0, 1, 2, 3, dan orde 4 oleh suatu instansi pemerintah yaitu BPN RI dan Bakosurtanal.

Hambatan utama dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah di Indonesia adalah kurang tersedianya titik dasar teknik yang digunakan sebagai titik ikat dalam kegiatan tersebut. Selain itu, jumlah sumber daya manusia yang sedikit dan luasnya wilayah Indonesia menjadi faktor penghambat lain yang menyebabkan pemetaan bidang di Indonesia tidak berjalan secara optimal.

Dalam melaksanakan tugas pemetaan bidang tanah, BPN (Badan Pertanahan Nasional ) juga dihadapkan pada kendala dan masalah yang berakibat pada belum terdaftarnya seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia.

Pemetaan bidang di Indonesia dapat dikatakan sangat lambat karena masih banyak sekali bidang tanah yang belum terpetakan dan terdaftar sehingga menyusahkan beberapa pihak instansi untuk melakukan pengembangan untuk fungsi bidang tanah tersebut.Pemetaan bidang yang dilakukan oleh instansi pemerintah BPN masih menggunakan metode yang konvensional, sehingga pelaksanaan lebih lama, biaya lebih mahal dan tidak efisen.Selain itu kendala lainnya dalam pengukuran bidang tanah di Indonesia adalah penyediaan dan persebaran Titik Dasar Teknik yang digunakan sebagai referensi pengukuran bidang tanah yang belum mencakup seluruh wilayah Indoensia.

Di Indonesia penggunaan peta bidang sebagian besar hanya digunakan untuk keperluan pendaftaran tanah dan penghitungan nilai pajak.Sehingga peta bidang yang dibuat kebanyakan belum mencakup seluruh kawasan Indonesia.Sampai saat ini peta bidang tanah belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal selain untuk dua fungsi utama yang telah sebutkan di atas.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dilakukanlah pengukuran dengan menggunakan salah satu teknologi pemetaan yang mulai dikembangkan di Indonesia yaitu aplikasi GNSS CORS(Global Navigation Sattelite System Continuously Operating Reference Stations). Banyak dari instansi pemerintah maupun swasta yang mengembangkan teknologi ini untuk kebutuhan rekayasa dan penelitian yang berkaitan dengan posisi.

Pengukuran dengan metode ini dapat menghasilkan bidang tanah pada daerah terbuka (persawahan) 6 sampai 7 kali lebih cepat dari metode konvensional.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal sebagai berikut :

1. Berdasarkan peraturan, teknologi CORS tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dan dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam pelaksanaan program-program pertanahan.

2. Berdasarkan pertimbangan teknis, CORS layak digunakan.

3. Secara administrasi pertanahan, CORS memenuhi syarat.

4. Dari aspek ekonomi, pemanfaatan teknologi CORS nilainya lebih efisien dibandingkan dengan metode konvensional.

5. Secara teknis pengukuran dan pemetaan dengan teknologi CORS, lebih produktif dan efektif/tepat guna dibandingkan dengan metode lainnya.

6. Dibandingkan dengan sistem konvensional, teknologi CORS manfaatnya lebih besar.

B. SARAN

Perlu integrasi komunikasi data CORS dan LARASITA yang dikelola oleh BPN Pusat.