A. Filsafat Hukum Sebelum Abad XX
Filsafat yang akan menghasilkan pikiran-pikiran modern tentang hukum dimulai perkembangannya di Yunani pada abad VI sebelum Masehi
Jauh sebelumnya sudah terdapat perkembangan kebudayaan di bagian-bagian dunia lain, khususnya di Timur Tengah, di Mesir, di India, dan di Cina. Perkembangan kebudayaan itu ditandai oleh kesenian yang tinggi yang hingga kini sangat mengagumkan, seperti istana-istana raja-raja Babylonia dan Persia dan pyramid di Mesir. Kadang-kadang kebudayaan bertalian juga dengan kebijaksanaan dalam bidang kenegaraan dan hukum seperti halnya pada kerajaan-kerajaan kuno, baik di Cina maupun di Mesir dan Babylonia. Sudah terdapat juga suatu perundang-undangan yang agak lengkap di Babylonia. Sudah terdapat juga suatu perundang-undangan yang agak lengkap di Babylonia (Hamurabi, abad XVIIIseb. M.) dan di negeri Yahudi (Musa, abad XIII seb. M.)
Di Cina ditemukan juga pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang Negara dan hukum, yang menentukan garis-garis kepemimpinan masyarakat Cina sampai zaman sekarang ini. Namun pemikiran-pemikiran yang paling subur adalah pemikiran di Yunani. Filsafat tentang Negara dan hukum sebagaimana dikembangkan di Yunani itu menjadi titik tolak pandangan modern atas gejala-gejala tersebut.
Pemikiran-pemikiran Yunani itu diteruskan dalam kebudayaan Romawi, kemudian ditampung dalam kebudayaan Eropa. Melalui kebudayaan eropa itu tanggapan tentang hukum menjadi milik bangsa-bangsa seluruh dunia. Itu berarti, bahwa untuk sampai pada pandangan modern tentang hukum kita harus menelusuri jalan sejarah eropa. Itu tidak berarti bahwa tidak terdapat unsur yang baik dalam sistem hukum lainnya. Memang ada, ump. Dalam sistem hukum Cina kuno itu, yang tentu saja cocok dengan jiwa manusia Timur. Namun modernisasi hidup mewajibkan kita untuk pertama-tama melihat latar belakang yang dialaminya dalam filsafat Yunani dan Eropa. Studi hukum adat yang lebih lanjut akan dapat membawa keseimbangan antara modernisasi dan kebudayaan asli.
Sejarah filsafat Eropa tentang hukum dapat dibagi dalam beberapa tahap, yang semuanya mempunyai coraknya sendiri.
I. ZAMAN YUNANI-ROMAWI (abad VI seb. Mas – abad V ses. Mas)
Hukum keluar dari lingkup sakral dan mulai dipersoalkan sebagai gejala alam.
1. Alam pikiran kuno (abad VI dan V sebelum masehi)
Ditandai suatu semangat religius yang mendalam. Dapat dibedakan antara dua aliran religi yang saling bertentangan. Aliran pertama yaitu aliran religi primitif. Dan Aliran kedua yaitu religi dewa-dewi Olimpus.
2. Plato (427 – 347 seb. Masehi)
Plato adalah murid Sokrates, berpandangan bahwa di samping dunia fenomen, yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan, yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria).
3. Aristoteles (384 – 322 seb. Masehi)
Aristoteles adalah murid Plato. Jasa Aristoteles sebagai pemikir tentang hukum cukup menyolok. Dialah yang pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif, lagipula untuk pertama kalinya mengerjakan suatu teori keadilan walaupun pengertian hukum yang dihasilkannya masih kurang lengkap.
4. Hukum Romawi (abad III seb. Mas – abad V ses. Mas)
Pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum cukup besar, khususnya melalui ius gentium. Ius gentium itu masuk Codex Iustinianus pada abad VI, selanjutnya diresepsi dalam hukum negara-negara eropa pada abad XV dan XVI. Melalui jalan ini hukum Romawi kuno menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.
II. ABAD PERTENGAHAN (abad V – abad XV)
Hukum ditanggapi dalam hubungan erat dengan Allah dan agama.
1. Augustinus (354 – 430)
Augustinus adalah pemikir kristiani, pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal budi teoretis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf. Pandangan Augustinus atas hukum positif kurang jelas. Augustinus memiliki suatu kewibawaan yang luar biasa dalam bidang filsafat dan teologi selama Abad pertengahan.
2. Thomas Aquinas (1225 – 1275)
Thomas Aquinas adalah seorang rohaniawan Gereja Khatolik yang lahir di Italia, lalu belajar di Paris dan Koln di bawah bimbingan Albertus Magnus. Dalam membahas arti hukum Thomas mulai membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu (hukum ilahi positif “ius divinum positivum”) dan hukum-hukum yang di jangkau oleh akal budi manusia sendiri (hukum alam “ius naturale”, hukum bangsa-bangsa “ius gentium”, dan hukum positif manusiawi “ius positivum humanum”).
3. Hukum Islam
Sejajar dengan bermunculannya aturan-aturan hidup baru, timbullah juga suatu ilmu yang oleh orang islam dinamakan Fiqh. Ilmu ini mempelajari keseluruhan hak dan kewajiban yang berlaku dalam hidup bersama orang islam. Hukum yang dikerjakan para ahli Fiqh berdasarkan wahyu Allah itu disebut hukum islam. Sejak abad IX sarjana-sarjana hukum digolongkan menjadi 4 aliran yaitu : Mazhab Hanafi, MazhabMaliki, Mazhab Hambali dan MazhabSyafi’i.
III. ZAMAN RENAISSANCE (abad XV – 1650)
Hukum mulai dipandang dalam hubungannya dengan kebebasan manusia dan dengan negara-negara nasional.
1. Pelopor-pelopor Zaman Baru
Sebelum zaman Renaissance telah muncul beberapa pemikir, yang mewartakan datangnya zaman baru. Dua nama dapat dianggap penting bagi perkembangan filsafat negara dan hukum, yakni William dari Occam dan Marsilius dari Padova.
a. William dari Occam (1290/1300 – 1350)
Filsafat William dari Occam bernama Nominalisme, yang dapat dipandang sebagai lawan utama sistem-sistem Skolastik, khususnya sistem Thomas Aquinas.
b. Marsilius dari Padova (1270 – 1340)
Marsilius dari Padova mempunyai suatu pandangan baru dalam bidang filsafat politik, yakni tentang negara sebagai masyarakat yang lengkap. Menurutnya, negara adalah rakyat, yang secara bebas membangun hidup bersama melalui wakil-wakilnya demi kepentingan umum. Tugas utama negara adalah membentuk undang-undang yang adil.
2. Abad XVI
a. Desiderius Erasmus (1469 – 1536)
Pendapatnya tentang hidup bermasyarakat dan tentang gereja disalurkannya melalui suatu buku satiris yang termasyhur berjudul Laus Stultitiae atau Moriae Encomium (1509) atau yang disebut “Pujian terhadap kebodohan”
b. Thomas More (1478 – 1535)
Kritiknya terhadap situasi masyarakat zaman raja Hendri VIII dituangkan dalam sebuah buku satiris kecil yang berjudul Utopia (1516).
c. Protestanisme
Luther (1483 – 1546) berpendapat bahwa gereja tidak boleh memiliki kekuasaan politik.
Calvin (1509 – 1564) menolak adanya suatu hukum alam dalam arti yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang terikat pada aturan alam dan yang mencerminkan rencana abadi dari Allah. Menurutnya Rasa keadilan yang diciptakan Allah dalam hati manusia menjadi titik tolak hukum positif yang adil.
d. Macchiavelli (1469 – 1527)
Buku terkenalnya berjudul Il Principe (Sang Raja). Sistem Macchiavelli terkenal karena suatu ide modern yang terkandung di dalamnya yaitu Ragione di stato atau Raison d’ etat, staatsrason.
e. Jean Bodin (1530 – 1596)
Idenya yaitu kedaulatan (souverainite). Ide itu menyatakan bahwa dalam negara terdapat suatu kekuasaan atas warga-warga negara yang tidak dibatasi oleh suatu kekuasaan lain, pun pula tidak terikat pada undang-undang. Menurutnya seorang raja mempunyai kedaulatan itu.
3. Hugo Grotius (1583 – 1645)
Bukunya yang terkenal adalah tentang hukum damai dan perang (De iure pacis ac belli), 1625. Ide hukum alam pada Grotius terlalu sempit dan tidak cocok untuk mencakup segi-segi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dalam masyarakat.
4. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Menurut Hobbes metoda yang tepat untuk mendapatkan kebenaran adalah metoda yang digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan positif, yakni dalam ilmu-ilmu pengetahuan fisika dan matematika.
Buku-bukunya yang terpenting adalah De Cive, 1642 (tentang warganegara), Leviathan or the matter, form and power of a commonwealth, ecclesiastical and civil, 1651 (Leviathan, atau pokok, bentuk dan kekuasaan suatu hidup bersama, baik gerejani maupun sipil).
IV. ZAMAN RASIONALISME ( 1650 – 1800 )
Hukum dipandang secara rasional melulu dalam sistem-sistem negara dan hukum.
1. Pufendorf dan Thomasius
a. Samuel Pufendorf (1632 – 1694)
Menurutnya aksioma dasar hukum alam adalah manusia harus mewujudkan diri sebagai makhluk sosial supaya ia dapat hidup di dunia dalam damai. Pufendorf menganut prinsip Staatsrason dari Macchiavelli. Raja berhak untuk melampaui batas hukum alam bila hal itu dituntut oleh kepentingan negara.
b. Christian Thomasius (1655 – 1728)
Menurutnya hukum alam adalah hukum ilahi yang tertanam dalam hati manusia, yang mewajibkannya untuk berbuat apa yang sesuai dengan hakekat manusia dan tidak berbuat apa yang melawan hakekat itu. Perbedaan Thomasius antara hukum dan moral sangat mempengaruhi pikiran-pikiran tentang hukum dalam abad XVIII.
2. Christian Wolff (1679 – 1754)
Christian Wolff menguraikan teorinya tentang hukum secara singkat dalam bukunya : Institutiones iuris naturae et gentium, 1754 (Ulasan-ulasan mengenai hukum alam dan hukum bangsa-bangsa).
3. John Locke (1632 – 1704)
Locke secara prinsipial menolak ide staatsrason. Menurutnya mustahillah manusia menyerahkan hak-hak aslinya kepada instansi lain, oleh sebab hak-hak itu melekat pada manusia sebagai pribadi.
Locke membedakan antara kekuasaan sebagai fungsi-fungsi tatanegara, ada 3 kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan legislatif yakni kekuasaan negara untuk membentuk undang-undang.
4. Aufklarung di Perancis
a. Montesquieu (1689 – 1755)
Montesquieu melihat adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkret suatu bangsa. Ia juga membedakan bentuk negara menjadi 3 yaitu monarki, republik dan despotisme.
b. Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778)
Menurut Rousseau kebebasan dan perasaan moral manusia diancam oleh situasi masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
5. Immanuel Kant (1724 – 1804)
Kant menyediakan suatu tempat khusus bagi moral sebagai pernyataan utama akal budi praktis. Menurutnya pula kewajiban dalam bidang hukum sulit dipertanggungjawabkan. Dalam filsafatnya timbullah juga kesulitan mengenai hubungan antara hukum dan keadilan.
V. ABAD XIX ( 1800 – 1900 )
Hukum dipandang sebagai faktor dalam perkembangan kebudayaan dan sebagai obyek penyelidikan ilmiah.
1. Hegel
2. Materialisme historis
3. Mazhab hukum historis
4. Positivisme sosiologis
5. Ajaran hukum umum
B. Filsafat Hukum Dalam Abad XX
I. NEOKANTIANISME, NEOHEGELIANISME, NEOMARXISME
1. Rudolf Stammler
Stammler menggunakan metoda logis-formal untuk menerangkan pengertian orang-orang tentang hukum.
2. Hans Kelsen
Menurut Kelsen, hukum dapat dipandang dalam arti formal dan dalam arti material dan di samping ilmu pengetahuan hukum terdapat juga politik hukum.
3. Gustav Radbruch
Ajaran Radbruch mnerangkan bahwa pengertian hukum tidak lain daripada pengertian hukum transendental-logis yang bersifat a-normatif.
4. Neohegelianisme
a. Julius Binder (1870 – 1938)
dalam teori Binder perbedaan antara hukum dalam arti keadilan dan hukum dalam arti hukum positif lenyap.
b. Karl Larenz
Menurut Larenz dasar seluruh hukum adalah ide hukum.
5. Neomarxisme
Menurut teori asli Marx hukum hanya berfungsi dalam suatu sistem produksi kapitalis, yakni guna melindungi hak milik pribadi orang-orang yang berkuasa. Seluruh hukum adalah hukum borjuis.
II. NEOPOSITIVISME
1. Realisme Hukum Amerika
Di Amerika beberapa pemikir tentang hukum mengikuti arah yang telah digariskan dalam filsafat pragmatisme. Pemikir-pemikir itu tidak memberi perhatian lagi kepada masalah-masalah teoretis tentang hukum, bahkan juga mengindahkan lagi aspek normatif dari hukum.
2. Realisme Hukum Skandinavia
Dalam filsafat nampaklah suatu antinomi antara kekuatan ide-ide hukum sebagai normatif dalam hidup orang dan penyangkalan radikal realitas normatifnya oleh tokoh-tokoh seperti Axel Hagestrom yang menyatakan pandangan bahwa sikap orang-orang terhadap hukum diwarnai oleh perasaan-perasaan yang berakar dalam bayangan-bayangan primitif, Ander Vilhelm Lundstedt yang mengemukakan bahwa kaidah-kaidah hukum, hak subyektif dan kewajiban hukum hanya merupakan bayangan pikiran, serta Karl Olivecrona yang menegaskan hukum normatif memang tidak ada.
3. Alf Ross
Alf Ross menyatakan bahwa keharusan yuridis merupakan suatu unsur realitas sosial dalam mana hidup manusia. Realitas sosial adalah sesuatu yang khusus yang tidak dapat disamakan dengan realitas alam.
4. H.L.A. Hart
Hart menentang pengertian hukum yang menurut Austin hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seseorang yang berkuasa dalam negara secara memaksakan, dan yang biasanya ditaati.
5. Julius Stone
Buku yang terpenting di tulis oleh Stone adalah The province and function of law, 1947 (Bidang dan Fungsi hukum)
Stone berpendapat bahwa ilmu hukum tidak mempunyai metoda penyelidikan sendiri.
6. John Rawls
Menurut Rawls kecenderungan untuk mengejar keuntungan individual tidak menjadi penghalang untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan, bahkan menjadi titik tolak suatu pembagian yang merata.
contoh makalahnya;
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani, kata ini bersifat majemuk, berasal dari kata “philos” yang berarti sahabat dan kata “shopia” yang berarti pengetahuan yang bijaksana (wished) dalam bahasa Belanda. Sedangkan menurut Dr. Harun Nasution berasal dari kata “philein” yang berati cinta dan “shopos” yang berarti hikmah (wisdom) (Nasution,1973). Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada pengetahuan yang bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya (Sidi Gazalba,1977). Pengetahuan yang bijaksana tersebut dapat berupa ilmu pengetahuan maupun agama. Dimana dalam perkembangannya, hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan agama sangatlah erat dan berkaitan.
Sebelum ilmu pengetahuan berkembang seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan yang pertama kali muncul adalah ilmu filsafat. Kemudian oleh perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia terutama pada abad pertengahan muncul ilmu pengetahuan khusus yang memisahkan diri dengan ilmu filsafat. Meskipun dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat bukan berarti hubungan ilmu filsafat dengan ilmu-ilmu khusus lainnya menjadi terputus. Ilmu pengetahuan dengan kekhususannya menimbulkan batas-batas yang tegas antara ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya. Terdapat hubungan timbal balik antara ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pengetahuan ilmiah agar pembahasan bersifat rasional, mendalam, runtut dan tidak menimbulkan kesalahan. Dewasa ini ilmu dapat menyediakan sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafat yang tepat dan sejalan dengan pengetahuan ilmiah. Sebaliknya peranan filsafat terhadap ilmu-ilmu khusus lainnya, terutama filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep-kosep dasar dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu untuk memperoleh objektivitas dan validitasnya. Konsekuensinya akan menyangkut perangkat metode yang digunakan dalam ilmu. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memperoleh landasan yang kuat.
Filsafat juga berupaya untuk mengarahkan aspek aksiologis ilmu pengetahuan yaitu bahwa ilmu pengetahuan betapapun perkembangan harus senantiasa didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu pengetahuan pada hakikatnya demi kesejahteraan umat manusia dan bukan sebaliknya untuk menyengsarakan bahkan untuk memusnahkan umat manusia. Hal ini juga diajarkan dalam ajaran agama bahwa sesama manusia haruslah saling mencintai dan menghormati, agar timbul hubungan harmonis dan selaras dalam kehidupan umat manusia, juga hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungannya. Seperti pepatah “ Ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh.” Sehingga antara ilmu pengetahuan dengan agama harus berjalan dengan selaras.
Filsafat terus berkembang seiring dengan peradaban manusia, sebab hakikat ilmu pengetahuan agar senantiasa demi tujuan kemanusiaan maka harus dalam bimbingan filsafat dan juga ajaran agama.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Agama
Sebelum mengetahui hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan agama, sebaiknya diketahui terlebih dahulu pengertian dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama.
Filsafat adalah merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menemukan hakekat yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebenaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu Pengetahuan berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepadaTuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Namun secara singkat perlu kiranya dipahami bahwa terdapat dua macam pengertian agama, yaitu :
• Agama Langit yaitu agama yang diwahyukan oleh tuhan kepada utusannya (Rasulnya) yang kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia.
• Agama Budaya yaitu agama yang tidak berasal dari Tuhan, namun merupakan produk dari manusia itu sendiri.
II. Hubungan antara Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari persamaan dan perbedaan keduanya. Hal itu dapat dirinci sebagai berikut :
• Persamaannya yaitu :
a. Baik ilmu maupun filsafat keduanya merupakan pengetahuan manusia.
b. Baik ilmu maupun filsafat keduanya berpangkal pada akal manusia untuk mencapai suatu kebenaran.
c. Filsafat sebagai suatu ilmu (yaitu ilmu filsafat) dengan ilmu pengetahuan keduanya memiliki syarat-syarat ilmiah yaitu memiliki objek, metode, sistematis serta memiliki kriteria kebenaran.
d. Baik ilmu maupun filsafat keduanya merupakan suatu sistem pengetahuan manusia yang bersifat rasional dan sistematis.
• Perbedaannya yaitu :
a. Filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan. Maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu sangat ditentukan oleh filsafat, prinsip metodenya, aksioma maupun dalil-dalil yang diturunkan pada ilmu dikembangkan oleh filsafat; adapun ilmu tidak membahas tentang prinsip metode serta dalilnya sendiri.
b. Fisafat bersifat reflesif yaitu mempertanyakan dan membahas tentang objek termasuk filsafat itu sendiri maupun ilmu pengetahuan tidak bersifat refleksif.
c. Filsafat membahas segala sesuatu serta menyeluruh dan universal sedangkan ilmu hanya membahas pada gejala-gejala yang sangat khusus pula.
d. Filsafat bersifat spekulatif, artinya mengajukan dugaan-dugaan rasional yang melampaui batas-batas fakta. Spekulasi dilakukan dengan cara penyatupaduan dari semua pengetahuan, pemikiran dan pengalaman manusia menjadi satu pandangan yang komprehensif, adapun ilmu pengetahuan hanya menjelaskan fakta, mendeskripsikan fakta dengan segala hubungannya.
e. Ilmu hanya menjelaskan fakta terutama fakta empiris, sedangkan filsafat memahami, menginterpretasikan dan menafsirkan fakta secara rasional.
f. Filsafat membahas objek secara menyeluruh baik meliputi gejala empiris maupun nonempiris, adapun ilmu hanya membahas gejala-gejala empiris saja dan bersifat khusus.
III. Hubungan antara Filsafat dengan Agama
Hubungan antara filsafat dengan agama dapat dilihat dari persamaan dan perbedaan keduanya. Hal itu dapat dirinci sebagai berikut :
• Persamaannya yaitu :
Fisafat merupakan suatu usaha manusia untuk mendapatkan suatu kebenaran yang hakiki, melalui kegiatan akal budinya dengan segala kemampuan bathiniahnya, baik yang menyangkut hal-hal yang bersifat fisis maupun nonfisis, baik yang menyangkut manusia maupun alam semesta dengan segala permasalahannya. Sama halnya dengan agama yaitu untuk mengemukakan suatu kebenaran hakiki tentang segala sesuatu.
• Perbedaanya yaitu :
a. Filsafat berpangkal tolak pada akal budi beserta seluruh potensi batiniah manusia. Adapun agama kebenarannya bersumber pada wahyu Tuhan dan manusia hanya menerima dengan suatu iman dan ketaqwaannya.
b. Filsafat bersifat rasional, komprehensif dan sistematis yang terbatas pandangan hidup kebenaran secara akal budi manusia. Adapun agama tidak dapat dikenakan sistem kebenarannya yang menggunakan hukum-hukum akal manusia. Maka agama hanya mampu dipahami dengan hukum Tuhan.
c. Filsafat dalam upaya untuk mendapatkan kebenaran hakiki tersebut dengan cara mempertanyakan dan mempermasalahkan segala hal yang dihadapi manusia. Kemudian diupayakan pemecahannya dengan menggunakan segala kemampuan akal budinya. Adapun agama berbeda dengan filsafat yaitu untuk sampai pada kebenaran yang hakiki maka manusia tidak dibenarkan untuk mempermasalahkan, mempertanyakan dan meragukan kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan lewat utusannya. Dengan demikian agama harus berangkat dari kepercayaan, keimanan dan ketaqwaan.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian pada bab-bab diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan agama di dalam perkembangannya sangat erat dan berkaitan. Dapat diketahui manfaat dari filsafat terhadap ilmu pengetahuan yaitu sebagai induk pengetahuan, sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan yang aksiomata yang tidak memerlukan suatu pembuktian, dengan filsafat setiap ilmu pengetahuan dapat memiliki sifat dan ciri khasnya masing-masing. Filsafat juga memberikan dan mengarahkan ilmu pengetahuan kearah tujuan demi kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar