TUGAS PENGANTAR ADMINISTRASI PERTANAHAN
TENTANG PERMASALAHAN PERTANAHAN DARI MASA SEBELUM PENJAJAHAN SAMPAI DENGAN SEKARANG
I. PENDAHULUAN
Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri.
Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.
II. PEMBAHASAN
A. SEBELUM LAHIRNYA UUPA
1. PERMASALAHAN TANAH SEBELUM PENJAJAHAN
Jauh sebelum penjajahan singgah di bumi pertiwi ini, bangsa kita ini sudah mengenal adanya politik dan hokum agrarian walaupun masih dalm bentuk yang masih sederhana. Bukti dari itu semua dengan melihat adanya pembagian wilayah yang dikuasai nenek moyang bangsa Indonesia, dan selanjutnya munculah suku-suku sebagai akibat dari pembagian wilayah tersebut. Dan tentunya dari masing-masing suku tersebut memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri atau lebih kita kenal dengan hokum adat setempat. Nah, dibalik ketentuan tersebut tentunya terdapat hokum yang mengatur tentang hak penguasaan akan tanah atau yang lebih kita kenal dengan Hak Ulayat.
Ketentuan-ketentuan tentang tanah-tanah adat yang berasal dari hokum adat ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya ini dapat kita lihat dari ketentuan-ketentuan yang bersifat tidak tertulis dan kekeluargaan serta gotong royong. Perbedaanya dapat kita lihat dari ketentuan-ketentuan khususnya antara lain dari sisi jenis tanah adat ternyata menampilkan perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam.
Bentuk tanah adat yang tidak tertulis memberikan permasalahan sendiri yaitu formulasi dari isi ketentuannya tidak jelas dan tidak tegas mengakibatkan unsure kepastian hokumnya belum ada. Sehingga sengketapun terjadi.
2. PERMASALAHAN TANAH SAAT PENJAJAHAN
Indonesia pernah dijajah Inggris selama lima tahun (1811-1816). Gubernur Jenderal Raffles mengenalkan sistem sewa tanah di pulau Jawa. Raffles memandang semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di India.
Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, setelah pulau tersebut dikembalikan Inggris kepada Belanda. Belanda meninjau kembali kebijaksanaan mereka atas Jawa. Gubernur Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu kebijaksanaan, diantaranya ialah, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini, orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah. Pada tahun 1827, sebagian besar sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan demikian mampu membayar sewa tanah.
Kebijakan Belanda kemudian berubah karena kesulitan keuangan dan persaingan ketat. Pemberontakan Diponegoro tahun 1852-1830 menguras keuangan pemerintah kolonial di Jawa. Kebijaksanaan Belanda yang membingungkan kedudukan orang-orang Eropa dan Jawa menyebabkan pecahnya perang. Pertentangan mulai setelah pemerintah kolonial membatalkan perjanjian-perjanjian sewa tanah antara pengusaha-pengusaha Eropa dan para pangeran dari kerajaan Surakarta dan Jogyakarta di Jawa Tengah.
Penghapusan atas kontrak-kontrak ini menyebabkan kesulitan keuangan bagi penyewa- penyewa pribumi, yang telah benci terhadap bermacam pelanggaran terhadap hak-hak istimewa bangsawan oleh Deandels dan pengganti-penggantinya. Mereka menyerahkan kepemimpinan kepada Diponegoro, seorang pangeran dari kalangan istana Jogyakarta yang diakui sebagai seorang penantang pengaruh Eropa di istana dan yang mempunyai suatu reputasi kuat sebagai pemimpin mistis. Diponegoro menyatakan suatu “perang suci” Islam melawan Belanda. Pemberontakan ini dapat dipadamkan setelah melalui berbagai kesukaran dan kerugian yang besar. Walaupun perang ini mempunyai ciri keagamaan atau Imam Mahdi, terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa pemberontakan yang didukung oleh rakyat pada intinya merupakan kebencian kepada pemerintah kolonial sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang buruk. Contohnya, keluhan pahit menentang permintaan-permintaan yang berlebihan dalam bentuk pajak dan jasa-jasa atas Particuliere Landaerijen (tanah-tanah pertikulir). Di Belanda, Pemerintah juga menghadapi kesulitan keuangan dan memerlukan sumbangan dari daerah-daerah jajahannya. Kesulitan keuangan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa harga komoditi pertanian daerah tropis jatuh di pasar dunia dan petani Jawa harus bersaing dengan negeri-negeri lain, terutama Amerika dan Hindia Barat, yang dapat
menghasilkan komoditi yang sama seperti gula dan nila dengan tingkat harga yang rendah berkat penggunaan tenaga budak.
Van Den Bosch, yang menggantikan Van Der Cappellen, muncul dengan suatu gagasan Culturstelsel. Tujuannya adalah untuk membuat Jawa sebagai suatu asset yang bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya produksi yang serendah mungkin. Menurut sistem yang baru ini, rakyat harus menanam 1/5 tanah desa dengan tebu, kopi atau nila. Persyaratan tersebut kemudian diganti menjadi 1/3. Pada tahun 1983 Van Den Bosch mengumumkan bahwa sewa tanah tidak perlu dibayar jika rakyat menanam tanaman-tanaman ini pada tanah mereka dan menjualnya kepada pemerintah dengan tingkat harga yang rendah. Penerapan kebijaksanaan ini bertentangan dengan konsep awalnya. Di beberapa daerah, kebijaksanaan ini diterapkan dibawah tekanan dan paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan atas tanam paksa, dimana Pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan hasilnya harus dijual pada pemerintah. Pandangan-pandangan yang berbeda tampak diantara kalangan akademis mengenai apa sebenarnya fungsi sewa tanah di bawah sistem tanam paksa. Beberapa orang percaya bahwa ini hanyalah suatu ukuran untuk menjamin hasil produksi pertanian guna keperluan ekspor pemerintah. Jika suatu desa menghasilkan jumlah yang lebih besar dari uang sewa, pemerintah akan membayar imbalan kepada penduduk desa tersebut. Sebaliknya, jika produksi mempunyai nilai yang kurang dari uang sewa, desa harus membayar kekurangannya dalam bentuk uang tunai atau hasil bumi.
Van Den Bosch berpendapat bahwa sistem ini hanya akan berfungsi jika suatu persekutuan dibentuk antara pemerintah kolonial, bupati-bupati, dan kepala-kepala desa. Tahun 1831 dia mengembalikan kekuasaan bupati-bupati, yang pada waktu itu dihapuskan oleh Raffles. Menurut Van Den Bosch, kebijaksanaan liberal Raffles pada waktu lampau, yang begitu menaruh perhatian terhadap kekuasaan bupati-bupati atas rakyat dan hendak menghapuskannya, bertanggung jawab atas ketidakstabilan yang di pulau ini. Stabilitas di Jawa hanya dapat di capai, kata Ven Den Bosch, “atas dasar penegakkan kekuasaan bangsawan yang berdiri kukuh, melalui pengaruh mereka, berjuta-juta penduduk dapat tunduk pada kita”. Tahun 1863, dia mengeluarkan suatu peraturan yang memperbaharui kekuasaan bupati-bupati atas Rakyat.
Setelah mengadakan perundingan-perundingan dengan para bupati dan kepala-kepala distrik, pemerintah memutuskan mana tanah yang harus ditanami, misalnya dengan tebu; dan desa mana yang akan diwajibkan untuk menyediakan buruh-buruh untuk keperluan penanaman, pengangkutan hasil pertanian, pengelohan, dan sebagainya. Adminitrasi Belanda tidak terlibat secara langsung dalam pengurusan tersebut; kepala-kepala desa yang memeriksa perkebunan atas nama pemerintah dan bertanggung jawab atas keberhasilannya. Setiap hari mereka memberikan tugas-tugas kepada penduduk desa, yang menggarap tanah, meliputi penanaman dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan pengelohan tanah.
Sistem tanam paksa mengakibatkan perobahan pola penguasaan tanah di desa- desa Jawa pada waktu itu. Tanah yang semula digarap secara individu, kini menjadi milik bersama orang-orang desa. Dalam kerangka tersebut tanah dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin orang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja. Penduduk desa yang mendapatkan tanah desa diharuskan bekerja untuk desa atau untuk pemerintah.
Sebagai akibat dari hal tersebut sikep (petani-petani yang mempunyai tanah) menjadi tidak ada lagi, sebab tanah mereka didistribusikan kepada petani numpang (petani- petani yang tak mempunyai tanah), sehingga dapat membujuk mereka untuk tidak pindah ketempat lain demi menghindari beban yang berat sebagai buruh paksa.
Sebaliknya, kaum bangsawan dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan atas tanah untuk menjadikannya sebagai hak milik dari desa-desa yang mereka kuasai. Untuk pemerintah kolonial, sistem tanam paksa di bawah Van den Bosch membawa hasil-hasil yang tak terduga. Nilai ekspor dari Jawa terus meningkat, naik menjadi 11,3 juta gulden pada tahun 1830. Pada 1840, perhitungan ini meningkat menjadi 66,1 juta. Total ekspor dari Jawa volumenya meningkat selama periode tersebut dari 36,4 menjadi 161,7 juta kilogram. Persentase dari ekspor ini yang ditujukan ke Belanda meningkat dari 66 pada tahun 1830 menjadi rata-rata 83 pada tahun 1841 sampai 1850 dan menjadi lebih dari 90 dalam periode setelah 1861. Tidak ada keragu-raguan bahwa setelah tahun 1840 negeri Belanda memperoleh keuntungan dari laba ekspor kolonial yang meningkat sangat besar, dan keuntungan-keuntungan atas ekspor ini memainkan peranan sebagai pemasukan yang sangat besar bagi anggaran Negeri Belanda.
Ada yang berpendapat bahwa sistem tanam paksa juga meningkatkan standar kehidupan di Jawa, khususnya di wilayah dimana terdapat perkebunan tebu. Ini dapat diukur dari peningkatan import tekstil untuk penduduk asli Jawa dan Madura, lebih banyak beras yang diekspor, dan lebih banyak pendapatan yang diperoleh dari pajak-pajak perdagangan lokal pada pasar-pasar pribumi. Juga terdapat peningkatan dalam populasi ternak yang dikelola oleh pribumi. Penduduk juga meningkat karena perbaikan-perbaikan tersebut. Namun pendapat-pendapat seperti ini tentu dapat disangkal. Sistem kerja paksa membutuhkan lebih banyak buruh sehingga, keluarga-keluarga Jawa dipaksa untuk mempunyai lebih banyak anak. Tambahan anak memungkinkan tersedianya tenaga kerja untuk mengolah tanah penyambung nafkah hidup, sementara tenaga lainnya dapat menjalankan kerja wajib yang diharuskan oleh sistem tanam paksa.
Pendapat yang berbeda tentang pengertian “kesejahteraan” ini, jika kesejahteraan itu benar-benar ada, yaitu hanya sebagian kecil orang-orang tertentu yang diuntungkan oleh sistem tersebut yaitu golongan elite pada waktu itu seperti bupati-bupati, kepala-kepala desa, dan pengusaha-pengusaha Cina. Kesejateraan mereka diperoleh hanya atas beban yang dipikul oleh rakyat Jawa.
Rakyat menderita, karena harus menanam tanaman-tanaman yang diperlukan dan menyediakan diri pula sebagai tenaga kerja yang diperlukan oleh para pejabat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan umum. Pengaturan ini membutuhkan begitu banyak waktu sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Di beberapa daerah, seperti Cirebon (1840an) Semarang (1849-1850) dan Demak, hal itu telah menimbulkan bencana kelaparan. Di Semarang, bencana kelaparan diduga mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ke daerah lain. Hal tersebut menjadi halaman hitam dalam sejarah pemerintahan Belanda di Jawa.
Sistem tanam paksa menciptakan kekuasaan otoriter pada tingkat atas dan kesengsaraan pada kalangan rakyat. Sistem itu juga menhapuskan peranan usaha-usaha swasta. Situasi ini menjadi pusat kritik Partai Liberal, yang kemudian berkembang semakin kuat dan akhirnya pada tahun 1854, memenangkan suatu mayoritas di Parlemen Belanda.
Kekeuatan Partai Liberal yang terus meningkat di Negeri Belanda mendorong perubahan-perubahan politik di wilayah jajahan yang sebagian didasarkan pada alasan kemanusian, sebagian lainnya bersumber pada filsafat ekonomi liberal. Kaum liberal percaya mengenai keuntungan-keuntungan ekonomi pasar bebas, tidak hanya untuk rakyat Jawa tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan Belanda secara umum. Sistem tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, begitu juga monopoli pemerintah.
Pada akhirnya kemudian perusahaan swasta boleh meluaskan usahanya. Salah satu masalah yang dihadapi adalah bagaimana membuka pulau Jawa untuk investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota atau desa-desa.
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.
Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru.
Terdapat perbedaan pendapat antara golongan Liberal dan golongan Konservatif mengenai kebijaksanaan pertanahan di Jawa. Kaum liberal menekankan perlunya perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.
Kaum konservatif menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalah- masalah Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencita-citakan pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah oleh orang Eropa.
Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun,dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.
Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini menyebabkan Van de Putte kehilangan jabatannya.
Perbedaan antara golongan Liberal dan Konservatif menyebabkan Raja mengeluarkan instruksi kepada Gubernur Jenderal untuk melakukan suatu survey tanah di Jawa. Penelitian yang dimulai tahun 1868, mencakup semua tanah yang ada dibawah pengawasan langsung pemerintah kolonial. Semua kabupaten di Jawa dan Madura, kecuali Batavia dan Kerajaan Yogyakarta dan Solo, menjadi bagian dari penelitian ini. Survey ini memilih dua desa di tiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan desa yang disurvey adalah 808. Walaupun penelitian selesai tahun 1870, hasilnya belum segera tersusun. Semua laporan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1876, 1880, 1896 secara berturut-turut.
Oleh karena itu hasil penelitian tersebut hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebijaksanaan pertanahan. Sementara itu, pada tahun 1870 Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) berhasil dilahirkan. Undang-Undang tersebut memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering Reglement (1854) ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif. Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap tidak dibatasi. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan
dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak milik pribadi. Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang berbunyi sebagai berikut :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perushaan komersial (bukan pertanian dan kerajinan).
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.
4. Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
5. Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati hak-hak tanah penduduk asli.
6. Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
8. Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal menyatakan :
“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”.
Ketentuan ini melahirkan penafsiran yang berbeda, umpamanya, Prof. Nalts Trenite, mempertahankan pendapat bahwa tanah yang menurut hukum dikecualikan dari milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh penduduk. Pandangan ini ditolak oleh sarjana lain, seperti Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar. Menurut mereka, tujuan yang sebenarnya dari pembuat undang-undang adalah tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.
Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah kekuasaan negara. Apabila mengikuti pendapat Trenite, tidak cukup untuk menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk suatu desa atau desa yang lain menyatakan bahwa tanah bersangkutan dibawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian territorial desa, harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu, seperti, hak eigendom (hak milik); opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain) dan erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan lain-lain. Disamping hak-hak yang diundangkan tersebut, hak-hak adat terus berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk memungut hasil hutan, hak pakai, hak gadai dan hak sewa.
Jadi, Sejak diundangkannya Agrarische Wet 1870, yang memberikan hak ”erfpacht” (hak sewa turun temurun) dan hak ”opstal” (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain) selama 75 tahun kepada perusahaan-perusahaan swasta, perusahaan Belanda dan negeri lain datang ke Indonesia membuka perkebunan-perkebunan tembakau, gula, karet, teh dan kelapa sawit. Komoditi tersebut di jual di pasar Eropa dan Amerika Utara.
Untuk mengatasi dualisme hukum agraria yang ada, Undang-Undang Pokok
Agraria tahun 1960 mengkonversi ”Hak-hak Barat” dan ”Hak-hak Adat” menjadi hak-hak yang baru, umpamanya, ”Hak-hak Barat” seperti eigendom, agrarische eigendom dan grant sultan dan hak-hak adat seperti yasan, gogolan, sanggan dan pekulen (hak-hak tetap) , semua menjadi hak milik berdasarkan Undang-Undang yang baru. ”Hak-hak barat” seperti vruchtgebruik dan gebruik dan Hak-Hak Adat seperti bengkok, lungguh, anggaduh , semua menjadi Hak Pakai. Hak erfpacht (hak
menyewa sampai 75 tahun) dan Hak Konsesi menjadi Hak Guna Usaha. Secara teoritis, unifikasi hukum tanah sudah tercapai di Indonesia. Namun, unifikasi dalam bentuk tidak selalu berarti telah tercapai kesepakatan mengenai artinya. Walaupun, dikatakan bahwa undang-undang agraria yang baru didasarkan pada hukum adat, namun hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat yang telah disaneer. Hukum adat yang dipilih hanyalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau sosialisme Indonesia atau unsur-unsur lainnya berdasarkan hukum agama.
Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan kapan hukum adat bertentangan dengan kepentingan nasional, sosialisme Indonesia, atau hukum agama. Definisi tersebut menyebabkan apa yang dimaksudkan oleh undang-undang ini terbuka bagi berbagai penafsiran. Walau tak seorangpun memungkiri bahwa hukum adat adalah sumber yang penting dari undang-undang ini, dalam kenyataannya tidak selalu mudah untuk bahwa tanah dan sumber daya alam didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa. Kekuasaan negara harus dilihat dalam kapasitas untuk mengatur masalah pertanahan.
Ini menunjukkan, berlainan dengan prinsip domein negara, bahwa istilah hak menguasai tidak berarti hak memiliki. Walaupun prinsip domein negara telah dikritik karena bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan konsep negara merdeka, melalui penggeseran logika, dengan konsep hak menguasai oleh negara, prinsip domein negara muncul lagi dalam praktek dibawah nama baru tanah negara. Konsep tanah negara didalam pelaksanaannya tidak kelihatan berbeda dari prinsip domein negara. Sejak kemerdekaan, perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum setelah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah. Perbedaan pandangan tersebut bukanlah hak yang baru karena telah terjadi sejak masa dahulu. Frekuensi perselisihan telah meningkat sehubungan dengan pertumbuhan penduduk sementara tanah relatif tetap terbatas luasnya. Berdasarkan hak erfpacht, tanah-tanah perkebunan sudah amat begitu luas dari sejak awal mulanya sehingga tanah-tanah tersebut tidak mempunyai batas-batas yang nyata. Orang-orang mengambil alih tanah-tanah yang belum dibuka, sering kali dengan tidak mengetahui telah adanya hak atas tanah tersebut berdasarkan ”Hak Barat”. Mereka membuka dan menggarapnya bertahun-tahun, dan percaya bahwa mereka memiliki tanah tersebut berdasarkan hukum adat. Sebagai akibatnya, perselisihan-perselisihan kemudian terjadi antara pemilik perkebunan dan para petani. Tahun 1937 pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi No. 560 Tahun 1937 yang menyatakan bahwa pengusiran orang-orang yang menduduki tanah perusahaan perkebunan dapat dimintakan dalam waktu satu setengah tahun setelah peraturan tersebut dikeluarkan atau tanah telah diduduki. Namun, pengusiran hanya dapat dimohonkan jika cara membuka lahan atau menggunakannya bertentangan baik dengan hukum adat maupun dengan syarat-syarat mengenai pembukaan dan penggunaan tanah. Dapat dikatakan bahwa dalam masa penjajahanpun, hak-hak penduduk atas tanah dilindungi, walaupun berkaitan dengan perselisihan yang melibatkan kepentingan perusahaan perkebunan.
Selama penjajahan Jepang (1942-1945), pendudukan tanah perkebunan meningkat karena evakuasi para pemilik disebabkan situasi perang. Rakyat yang kelaparan terpaksa menggarap tanah tersebut, hal ini sering kali atas perintah penguasa Jepang. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah federal mengeluarkan Peraturan No. 110 Tahun 1948 mengenai pemilikan tanah yang tidak sah. Peraturan ini melarang penggunaan tanah tanpa ijin orang yang berhak, dan menetapkan hukuman pidana atas pelanggarannya. Dalam praktek, peraturan ini, hanya diterapkan di Sumatera Timur, dengan diikuti oleh berbagai gangguan. Pada Konperensi Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia dengan Belanda di Den Haag (1949) juga dibicarakan pendudukan tanah perkebunan Belanda. Namun, kedua belah pihak setuju bahwa tanah yang telah diduduki oleh penduduk Indonesia tidak dapat lagi diganggu-gugat. Pada tahun 1950, Pemerintah Indonesia mengeluarkan instruksi yaitu tanah-tanah yang diduduki sebelum 27 Desember 1949 (pengakuan kedaulatan Indonesia) tidak akan digugat, tapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap tanah yang dikuasai setelah tanggal tersebut. Tahun 1954, Pemerintah kembali mencoba memecahkan persoalan pendudukan tanah perkebunan dengan mengumumkan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954. Dengan Undang-Undang tersebut tujuan utama dari Pemerintah adalah untuk mencapai penyelesaian secara damai masalah pengusaan tanah yang didasarkan pada kompromi diantara para pihak. Jika para pihak gagal dalam mencapai suatu penyelesaian, Pemerintah berwenang untuk mengambil langkah-langkah lebih lanjut yang diperlukan.
Menurut undang-undang ini, masalah penguasaan tanah ilegal harus diselesaikan oleh Menteri Urusan Agraria bersama dengan Menteri Pertanian. Dalam melaksanakan kekuasaan ini, Menteri Urusan Agraria dimohon untuk mempertimbangkan kepentingan penduduk yang menggunakan tanah tersebut, kepentingan penduduk dimana perkebunan tersebut terletak, dan lahan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjalankan usahanya. Langkah pertama yang harus diambil terlebih dahulu adalah untuk mencapai penyelesaian damai dengan pihak-pihak yang terlibat. Pendudukan tanah yang tidak sah sebelum 12 Juni 1954 harus diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dimana tuntutan pidana terhadap mereka yang menduduki tanah dimungkinkan lagi. Namun, orang-orang yang secara tidak sah menduduki tanah setelah 12 Juni 1954 akan terkena tuntutan pidana. Dalam prakteknya, Undang-Undang Darurat ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Sekitar 200.000 hektar tanah perkebunan sudah dikuasai oleh kira-kira 28.000 keluarga di Jawa. Di Sumatera kira-kira 125.000 keluarga telah menguasai tanah-tanah perkebunan sebelum Juni 1954. Pendudukan tanah-tanah perkebunan terus meningkat di Sumatera Timur meliputi lahan yang digunakan untuk menanam tembakau. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1956, yang mengubah Undang-Undang No. 8 Tahun 1954. Undang-undang baru ini memuat sanksi hukum bagi mereka yang menduduki tanah secara ilegal. Ketentuan yang baru menyatakan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan yang menentukan seorang yang bersalah atas suatu tindak kejahatan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1954 dapat dilakukan seketika, tanpa menunggu hasil putusan banding Pengadilan Tinggi. Jika diperlukan, keputusan dapat dilaksanakan oleh Polisi.
Undang-Undang ini sekali lagi mencoba untuk mencegah bertambahnya pendudukan tanah-tanah perkebunan. Namun Undang-Undang ini juga gagal mencapai hasil yang diharapkan. Masalah tanah di transmigrasi di luar Jawa merupakan suatu ilustrasi lain mengenai bagaimana perselisihan atas tanah itu diambil. Berdasarkan hukum adat, masyarakat hukum adat mempunyai hak ulayat atas wilayah yang mengelilingi desa. Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 secara eksplisit mengakui hak kepemilikan masyarakat adat, tetapi menetapkan bahwa hak tersebut harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Dengan perkataan lain, masyarakat hukum adat dapat malanjutkan pelaksanaan hak ulayat mereka sepanjang pemerintah sendiri tidak menggunakan tanah tersebut. Dengan menggunakan tafsiran ini, pelaksanaan hak adat tidak boleh mencegah pemerintah untuk memberikan hak atas tanah kepada pihak lain misalnya, penyediaan pemukiman baru untuk para transmigran dari Jawa, dengan alasan penduduk asli mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Dalam kenyataanya, tafsiran ini kadang-
kadang sulit untuk diterapkan. Misalnya, di Sumatera Barat penduduk setempat mengeluh terhadap kebijaksanaan Pemerintah yang menafsirkan penguasaan atas tanah ulayat berarti penguasaan atas ”tanah negara”. Diwilayah ini hak ulayat berdasarkan hukum adat setempat diduga berjumlah 3.762.780 hektar, dimana hanya 298.218,14 hektar yang terdaftar.
Di Irian Jaya, kepala suku Skou mengeluh bahwa dia dan penduduknya tidak puas dengan dana recoqnisi sebesar Rp. 130.000.000,- yang ditawarkan pemerintah untuk luas tanah sekitar 100.000 hektar hutan tropis yang dihuni oleh para transmigran. Uang recoqnisi tidak diberikan dalam bentuk tunai, tetapi berupa bahan-bahan bangunan seperti seng dan paku, terutama untuk mempebaiki dusun-dusun penduduk asli. Penduduk menginginkan kopensasi dalam bentuk tunai sehingga mereka sendiri dapat memutuskan apa yang akan mereka lakukan dengan uang tersebut. Mereka juga menolak uang recoqnisi tersebut sebab jumlahnya tidak cukup untuk menutup kerugian hasil-hasil hutan, terutama rotan dan buah matoa yang tidak bisa lagi dipetik. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengabaian atas hubungan-hubungan adat istiadat penduduk terhadap lingkungannya, hutannya dan lapangan rumput mereka.
Masalah ini tidak hanya menjadi umum di Sumatera Barat dan Irian Jaya, tetapi juga di pulau-pulau lain, dimana hukum adat dan hak ulayat atas tanah masih kuat berlaku pada masyarakat asli.
B. SETELAH LAHIRNYA UUPA
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial.
Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau
ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik
melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum.1 Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb.
Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat local diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya.
Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan diatas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan
dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mula menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI /Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebu menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.
Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan.
Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan departemen/sektoral masing-masing. Penghuni hutan bisa dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan, walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau Departemen-Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri ini? Apa dasar hukum atas semua hal ini? Pertanyaan dan jawaban demikian seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara. Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia). Realitas pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan yang disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum) 2 (2) bahwa relasi UUPA dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo. 134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya.
Apapun alasannya, penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA.Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat kuat dan berkuasa. Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli.
Masalah agrarian yang kita hadapi saat ini tidak dapat terlepas dari warian masalah masa lalu yang hadir belakangan. Pokok masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Politik agrarian yang berwatak Neoliberal.
2. Tumpang tindih hokum dan kelembagaan di bidang agrarian.
3. Ketimpangan struktur agrarian.
4. Terjadinya konflik agrarian tanpa ada wadah penyelesaian yang adil.
5. Tidak terjadi transformasi agrarian.
III. KESIMPULAN
1. Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945 kondisi struktur agraria di Indonesia mengalami ketimpangan, dimana terjadi pemusatan penguasaan dan pemilikan tanah pada sekelompok orang, sebaliknya sebagian besar rakyat Indonesia hanya menguasai, dan memiliki sebagian kecil tanah pertanian yang ada. Ini merupakan akibat dari permasalahan tanah yang sudah ada sejak sebelum dan sesudah zaman penjajahan.
2. Sebagai upaya untuk mengatasi ketimpangan agraria di Indonesia sejak tahun 1960 pemerintah Soekarno mengeluarkan kebijaksanaan pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Upaya pembaruan agraria tersebut tidak membawa hasil yang berarti, karena pelaksanaan pembaruan agraria dihentikan sejak pemerintahan orde baru memegang kekuasaan pada tahun 1965.
3. Ketimpangan agraria tersebut semakin lebar terjadi, karena sejak pemerintahan orde baru berkuasa – dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, pembaruan agraria tidak dilaksanakan. Hal itu disebabkan telah terjadinya perubahan orientasi ideologi negara, dari yang berorientasi kerakyatan (sosialis populis) menjadi kapitalistis, dan menempatkan program pembaruan agraria hanyalah sebagai perogram teknis/persoalan administratif belaka. Sebagai dasar pembangunan yang akan dilaksanakan di Indonesia, masalah agraria tidak dipandang sebagai persoalan yang mendasar yang harus dilakukan terlebih dahulu.
4. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah orde baru yang mendorong terjadinya ketimpangan struktur agraria tersebut antara lain, adalah:
a. Dalam upaya mengejar tercapainya swasembada pangan di Indonesia, pemerintah orde baru melaksanakan program revolusi hijau, yakni suatu upaya modernisasi pertanian dengan memasukkan (introdusir) teknologi pertanian dibidang tanaman pangan, dengan mengabaikan ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang telah terjadi di Indonesia sebelumnya. Kebijaksanaan yang demikian telah menyebabkan program revolusi hijau hanya menguntungkan petani pemilik lahan luas dan pemilik modal saja di pedesaan.
b. Dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan keagrariaan yang memberikan kekuasaan kepada sekelompok orang untuk menguasai sumber-sumber agraria dengan tanpa batas dan sewenang-wenang. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU Pokok Kehutanan, UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Perairan, serta undang-undang lainnya yang berkaitan secara langsung dalam menggunakan sumber-sumber agraria.
c. Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian yang subur untuk dijadikan lahan industri, parawisata real estate (perumahan), lapangan golf, pembangunan DAM besar, perkebunan, hutan industri dan peruntukan-peruntukan lainnya di luar sektor pertanian. Untuk menyukseskan program tersebut, pemerintah menyalahgunakan Hak Menguasai Negara (HMN) yang tercantum dalam UUPA 1960. HMN disalahartikan dan dimanipulasi untuk tidak mengakui kedaulatan rakyat. Hal ini terlihat dari tidak adanya pengakuan pemerintah yang nyata terhadap hak-hak masyarakat adat dalam pemilikan dan penguasaan sumber agraria yang menjadi bagian hak-hak ulayatnya.
d. Pemerintah menggunakan cara-cara kekerasan dengan menggunakan aparat keamanan (TNI atau POLRI), dan kelompok-kelompok teroraginisir serta birokrasi untuk memaksa rakyat menyerahkan lahan-lahan pertanian, tanah adat dan hutan rakyat untuk keperluan pihak pemilik modal besar.
5. Dewasa ini telah terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintahan rejim Soeharto yang otoriter ke era reformsi, yakni jaman perubahan, jaman yang menghendaki perubahan secara total terhadap segala bentuk penyelewengan negara yang telah dilakukan oleh pemerintah orde baru selama 32 tahun berkuasa.
6. Meskipun disebut sebagai jaman perubahan (reformasi) kondisi agraria masih sangat memprihatinkan. Sampai hari ini pemerintah peralihan (transisi), masih meneruskan orientasi pembangunan yang dipegang pada masa orde baru. Pemerintah peralihan (transisi) belum mempunyai agenda kerja tentang pembaruan agraria sebagai upaya untuk mengatasi ketimpangan agraria yang terjadi saat ini di Indonesia.
7. Sementara itu partai-partai yang baru muncul, belumlah menempatkan pembaruan agraria sebagai sendi utama dari perubahan toral (reformasi total) yang sedang mereka coba gulirkan.
Makalah bagus sekali, ketekunan menyusun yg akan sangat bermanfaat, salam...
BalasHapus