SEJARAH DAN LANDASAN
PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA
- Sejarah Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sejarah pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh C.G van Huls yang kemudian dikutip oleh Irawan Soerojo, C.G van Huls membaginya menjadi 3 (tiga) periode, yaitu (C.G Van Huls, 2003):
1. Periode kacau balau, yaitu sebelum tahun 1837
2. Periode ahli ukur pemerintah, yaitu antara tahun 1837 hingga tahun 1837
3. Periode jawatan pendaftaran tanah, yaitu sesudah 1875
Gambaran yang lebih jelas mengenai periode-periode ini akan diuraikan di bawah ini :
1. Periode kacau balau ( sebelum tahun 1837 )
VOC yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1602, mendapat hak untuk melakukan perdangangan, hak-hak tersebut membuat VOC menganggap dirinya memiliki hak atas tanah-tanah yang berada dalam kekuasaannya. Pada tanggal 18 Agustus 1620, VOC mengeluarkan suatu plakat atau maklumat yang merupakan dasar pelaksanaan kadaster pertama dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Hindia Belanda. Pendaftaran tanah yang dilakukan terebut meliputi pendaftaran segala pekarangan dan pepohonan yng telah diberikan oleh VOC serta pencatatan nama-nama pemiliknya.
Penyelenggaraan kadaster ini merupakan penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam arti yang kuno yaitu pendaftaran tanah yang dilakukan tanpa didasarkan pada peta-peta tanah. Dalam peleksanaan pendaftaran tanah tersebut dibentuk suatu Dewan yang bernama dewan Heeraden, dimana tugas dari dewan tersebut adalah membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya yang pad setiap petany dicatat luas dari tiap-tiap tanah serta nama pemiliknya. Terdapat beberapa hal yang patut dicatat dalam pelaksanaan kadaster tersebut yaitu:
a. penyelenggaraan kadaster oleh Dewan Heemraden harus dilaksanakan berdasarkan peta-peta tanah sehingga hal ini berarti Dewan Heemraden harus menyelenggarakan suatu kadaster dalam arti yang modern.
b. Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk tujuan pemungutan pajak tanah dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai batas-batas tanah.
c. Dewan Heemraden di samping menyelenggarakan kadaster bertugas pula untuk menyelenggarakan perkara-perkara yang berkaitan dengan batas- batas tanah serta pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran- saluran air, tanggul-tanggul dan bendungan-bendungan.
2. Periode ahli ukur pemerintah ( antara tahun 1837 hingga tahun 1837 )
Pada periode ini gubernur jenderal memberikan instruksi kepada para ahli ukur di Jakarta, Semarang, dan Surabaya untuk menyelenggarakan kadaster secara lebih terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan suatu kadaster dalam arti yang modern. Ahli ukur pemerintah bertugas untuk:
a. menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada atau peta-peta tanah yang dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelum berlakunya instruksi tersebut dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang tanah yang belum diukur dan dipeta;
b. menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:
1. daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidang tanah didaftar menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang tanah yang diperlukan;
2. daftar dari semua peta seperti peta kasar dan peta-peta lain;
3. daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-penaksiran.
c. memberikan Landmeterkennis.
Dengan adanya ketentuan pasal 12 Staatsblad 1837 nomor 3 dinyatakan bahwa jika para ahli ukur menganggap perlu adanya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, maka pembeli atau penjual wajib meminta pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan kepada para ahli ukur dengan biaya sendiri. Tanpa adanya pengukuran dan pemetaan ahli ukur dapat menolak memberikan Landmeterkennis. Tujuannya adalah agar para ahli ukur menyesuaikan bidang-bidang tanah yang telah dipeta dengan perubahan-perubahan yang terjadi, sehingga peta-peta tanah tersebut akan selalu sesuai dengan keadaan bidang-bidang tanah yang sebelumnya.
3. Periode pendaftaran tanah
Pada periode ini pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas mempelajari kembali perlu dan tidaknya penataan kembali kadaster. Kemudian diusulkan bahwa kadaster harus diadakan secara radikal, harus dimulai dari Jakarta yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain. Dengan Staatsblad 1875 nomor 183 diatur secara rinci mengenai penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pada pasal 20 dinyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang harus diukur dan dipeta adalah:
a. bidang tanah yang dipunyai oleh orang atau badan hukum dengan sesuatu hak;
b. bagian-bagian dari bidang tanah hak jika bagian-bagian dari bidang tanah itu terpisah oleh batas alam atau jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman-tanaman yang berbeda-beda;
c. memelihara kadaster;
d. mengeluarkan surat–surat keterangan pendaftaran (Landmeterskennis) dan surat -surat ukur, memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan orang-orang melihat peta-peta kadaster dan daftar-daftar serta member keterangan lisan isi dari peta-peta dan daftar-daftar itu.
Namun demikian penyelenggaraan kadaster ini mengalami kegagalan, yangmenjadi penyebab utama adalah rumusan bidang-bidang tanah yangditetapkan dalm pasal 20 Staatsblad 1875 nomor 183. Adapun kesulitan- kesulitan yang timbul antara lain:
a. adanya penggolongan bidang-bidang tanah menurut penggunaannya dan bidang-bidang tanah kadaster yang harus diukur dan dipeta pada peta-peta kadaster maka peta-peta itu dengan sendirinya merupakan peta-peta dari bidang tanah menurut penggunaannya yang batas-batas bidang tanah pada peta-peta kadaster tersebut terdiri dari batas-batas hak dan batas-batas penggunaannya. Batas-batas bidang tanah menurut penggunaannya sering mengalami perubahan-perubahan batas, dan di dalam praktiknya merupakan suatu pekerjaan yang riskan karena selain menghabiskan waktu yang banyak, juga mengakibatkan terlantarnya pemeliharaan peta- peta kadaster. Terlantarnya pemeliharaan peta-peta kadaster mengakibatkan pemeliharaan daftar tanah tidak dapat pula dilakukan sebagaimana mestinya sehingga dibuatnya daftar-daftar tanah kehilangan manfaatnya.
b. Bidang-bidang tanah hak yang dipergunakan untuk beberapa hal akan diukur dan dipeta pada peta kadaster dalam beberapa bidang tanah kadaster, maka bidang tanah hak itu akan memperoleh beberapa surat hak atas tanah dan nomor kadaster. Oleh karena nomor kadaster dari suatu bidang tanah, maka nomor-nomor suatu bidang tanah hak dapat berubah meskipun batas-batas bidang tanahnya tidak berubah. Hal ini menyebabkan bidang tanah hak harus diuraikan dalam surat hak atas tanah peralihan dengan nomor kadaster yang berbeda dari nomor kadaster yang dipakai pada surat hak atas tanah sebelumnya. Penggunaan nomor-nomor kadaster yang berlainan dalam menguraikan bidang tanah yang sama dapat dengan mudah menimbulkan kesalahan-kesalahan. Meskipun pendaftaran kadaster tersebut mengalami suatu kegagalan, hal tersebut patut diakui bahwa kadaster baru tersebut manfaatnya sangat besar. Penyelenggaraan kadaster baru itu telah membawa keuntungan-keuntungan, yaitu:
a. timbulnya kesadaran pada para ahli ukur tanah bahwa kadaster harus diselenggarakan dengan pembuatan peta-peta secara teliti;
b. penyelenggaraan tata usaha kadaster meskipun dilakukan menyimpang dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, namun tetap dilakukan secara seksama;
c. tenaga-tenaga pelaksananya memperoleh pendidikan yang cukup baik.
B. Ordonansi Balik Nama
Menurut Irawan Soerodjo bahwa dasar pertama penyelenggaraan pendaftaran hak di Indonesia dilakukan oleh VOC berdasarkan plakat 18 agustus 1620, kemudian berdasar hukum Staatsblad 1834 nomor 27 tentang Ordonansi Balik Nama.
1. Periode sebelum ordonansi balik nama
Dalam plakat tertanggal 18 agustus 1620, dinyatakan setiap orang dilarang untuk memindahkan, mengasingkan atau membebankan dengan hipotik, rente atau gadai rumah, tanah atau pohon buah-buahan. Apabila akan dilakukan harus dilakukan dihadapan 2 (dua) orang schepen, yang tugasnya melakukan pencatatan pengalihan hak yang diberitahukan kepada mereka dalam suatu daftar-daftar tanah. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut yaitu: pembatalan, pengalihan hak yang bersangkutan, penyitaan tanah yang bersangkutan, maupun denda.
2. Periode ordonansi balik nama
Tanggal 21 april 1834 diberlakukan staatsblad 1834 nomor 27 tentang Bea Balik Nama yang kemudian dikenal dengan nama Ordonansi Balik Nama. Tujuan dikeluarkannya ordonansi ini adalah mengatur kembali ketentuan- ketentuan mengenai pendaftaran hak, dan mengatur kembali ketentuan- ketentuan bea balik nama. Pokok-pokok dari pendaftaran hak yang diatur dalam Ordonansi Balik Nama adalah sebagai berikut:
a. setiap peralihan hak harus didaftar pada pejabat balik nama (overschrivings ambtenaaren) yang dibantu oleh pejabat-pejabat pembantu;
b. pembuatan akta pendaftaran peralihan hak atau akta balik nama (acte van overschrivings) oleh pejabat balik nama;
c. asli akta balik nama disimpan oleh pejabat pembantu dalam 2 (dua) bundle terpisah, yaitu bundel koopbrieven dan bundel hypotheekbrieven,sedangkan kepada yang bersangkutan diberikan salinan sah (grosse) akta balik nama;
d. pejabat balik nama dan pejabat pembantu bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian yang timbul akibat kelalaian mereka dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh ordonansi balik nama;
e. surat keterangan pendaftaran tanah (landmeterskennis), dan surat ukur pemisahan.
Dalam pasal 20 ordonansi balik nama, dinyatakan bahwa dalam pembuatan akta balik nama karena jual beli, maka pembeli harus hadir dan memberikan keterangan bahwa ia telah menerima penyerahan tersebut. Dengan adanya ketentuan tersebut maka, peralihan hak karena jual beli dari penjual kepada pembeli terjadi setelah akta balik nama dibuat. Sehingga pendaftaran merupakan syarat mutlak bagi peralihan hak karen jual beli, seuai dengan pasal 1496 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hak eigendom atas benda yang telah dibeli baru beralih kepeda pembeli setelah dilakukan suatu penyerahan (levering).
C. Landasan dan Urgensi Pendaftaran Tanah
Tanggal 24 September 1960 merupakan tonggak bersejarah dalam hukum tanah Nasional kita, hal ini disebabkan pada tanggal tersebut lahirlah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang selanjutnya biasa kita kenal dengan sebutan UUPA. Lahirnya UUPA ini merupakan pengejawantahan dari pasal 33 UUD 1945. Sebelum berlakunya UUPA, hanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat, misalnya Hak Eigendom, Hak Opstal, dan Hak Erfpacht yang dilakukan pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, dan kepada pemegang haknya diberikan suatu tanda bukti berupa akta yang dibuat oleh Pejabat Balik Nama (Overschrijvings Ambtenaar). Pendaftaran tanah untuk tanah-tanah sebagaimana disebutkan diatas ini dikenal dengan Recht Kadaster. Sebenarnya di masa yang lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga bersifat yuridis. Pendaftaran ini didasarkan pada hukum adat setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, dan ada pula yang didasarkan pada peraturan yang bersifat Nasional, misalnya saja :
1. Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi (Landrente),sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administrasi sesuai dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat menganggap surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang terkena pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di tangannya.
2. Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh Pengurus Subak di Bali berdasarkan hukum adat setempat.
3. Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan peraturan Gemeente Medan.
4. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah yasan, tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun dilakukan Pendaftaran Tanah tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi tujuannya untuk menentukan siapa individu yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik, atau petuk. Pendaftaran yang semacam ini dikenal dengan nama Fiscal Kadaster. Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalam UUPA (undang-undang Pokok Agraria) pasal 19 yang menerangkan bahwa”
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dilakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran Tanah tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran Tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud ayat (1) di atas, dengan ketentuan rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pada Pasal 19 ayat 1 tersebut diperintahkan untuk dibuatkan aturan pelaksananya, oleh pemerintah telah diterbitkan 2 Peraturan Pemerintah antara lain :
1. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961
Sebelum berlakunya PP No. 10 tahun 1961, dikenal kantor Kadaster sebagai Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Didalam pasal 19 ayat 1 UUPA telah ditegaskan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 sebagai berikut :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar.
3. Untuk menyelenggarakan tertib administrasi pertanahan.
2. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997
Kemudian, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang lebih memperkaya pasal 19 UUPA, yaitu :
1. Bahwa diterbitkan sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
2. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberian informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah / bangunan yang ada.
3. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.
Untuk selanjutnya Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif tanggal 8 Oktober 1997. Kedua peraturan ini adalah bentuk pelaksanaan dari pendaftaran tanah dalam rangka rechtskadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada proses akhir pendaftaran tersebut berupa Buku Tanah dan Sertifikat Tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat (1) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2), dan pasal 38 ayat (2) UUPA. Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak.